Minggu, 28 Maret 2010

HAKIKAT FITRAH MANUSIA

A. PENDAHULUAN
Makhluk terbaik yang diciptakan Allah di alam ini bernama manusia. Struktur manusia terdiri atas unsur jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (psikologis). Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, dan menurut aliran behaviourisme disebut prepotence reflexes (kemampuan dasar yang dapat berkembang).
Dalam pandangan Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut fitrah. Kata ini mengandung sejumlah pengertian ditinjau dari berbagai sudut pandang oleh para pemikir muslim. Sebagian mereka mengartikan fitrah sebagai potensi beragama yang dibawa manusia semenjak di dalam rahim ketika mengikat perjanjian dengan Tuhan, sebagian lainnya mengartikan sebagai kemampuan-kemampuan jasmaniah dan rohaniah. Kendati demikian perbedaan tersebut menuju kepada satu tujuan yaitu menciptakan seorang muslim yang mampu mengemban tugas dan fungsinya sebagai ‘abd maupun sebagai khalifah di muka bumi. Pandangan tersebut sangat bertolak belakang dengan pandangan para ahli Barat terhadap potensi manusia dalam beberapa aliran psikologi yang jauh dari nilai-nilai religius. Selanjutnya makalah ini mencoba menguraikan pokok-pokok penting berkenaan dengan fitrah manusia, seperti makna fitrah, jenis-jenis fitrah, cara serta tujuan pengembangan fitrah itu sendiri.

B. PENGERTIAN FITRAH
Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk Allah lainnya, terangkum dalam kata fitrah. Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara ( فطر ) yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr ( الفطر ) yang berarti belahan atau pecahan. Secara umum pemaknaan kata fitrah dalam al-Quran dapat dikelompokkan setidaknya pada empat makna, yaitu: 1) proses penciptaan langit dan bumi, 2) proses penciptaan manusia, 3) pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang serta 4) pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya (ma’rifat al-iman). Selanjutnya bila makna kata fitrah dikaitkan pada manusia dapat dipahami dengan merujuk firman Allah surat al-Ruum ayat 30 sebagai berikut:
...فطرة الله التى فطر الناس عليها... (الروم : 30)
“…Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu…”.

Secara umum, para pemikir muslim cenderung memaknainya sebagai potensi manusia untuk beragama (tauhid ila Allah). Di pihak lain, ada juga yang memaknai fitrah sebagai iman bawaan yang telah diberikan Allah sejak manusia dalam alam rahim. Pendapat ini merujuk pada QS. al-A’raf [7]: 172 di bawah ini:
وإذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنا كنا عن هذا غافلين (الأعراف : 172)
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: betul engkau Tuhan kami, kamu menjadi saksi. Kami melakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (Keesaan Tuhan)”.
Secara lebih komprehensif, Muhammad bin Asyur, seperti dikutip Quraish Shihab mendefinisikan fitrah sebagai berikut:
اَلْفِطْرَةُ هِيَ النِّظَامُ الَّذِي أَوْجَدَهُ اللهُ فِى كُلِّ مَخْلُوْقٍ، وَاْلفِطْرَةُ الَّتِيْ تَخُصُّ نَوْعَ اْلإِنْسَانِ هِيَ مَا خَلَقَهُ اللهُ عَلَيْهِ جَسَدًا أَوْ عَقْلاً.
“Fitrah (makhluk) adalah bentuk lain dari sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya”.

Dalam batasan ini terlihat term fitrah diartikan sebagai potensi jasmaniah dan akal yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan potensi tersebut, manusia mampu melaksanakan “amanat” yang dibebankan oleh Allah kepadanya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa fitrah merupakan semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah SWT. Potensi-potensi manusia dalam konteks ini, menurut Hasan Langgulung adalah suatu keterpaduan yang terangkum dalam al-Asma’ al-Husna Allah (sifat-sifat Allah). Batasan ini memberikan suatu pengertian – dalam ilustrasi – jika Allah memiliki sifat al-‘Ilmu (Maha Mengetahui), maka manusia pun memiliki potensi untuk bersifat sebagaimaan sifat al-‘Ilmu-Nya. Demikian pula jika Allah memiliki sifat al-Sama’ (Maha Mendengar), al-Bashar (Maha Melihat) dan sebagainya, maka otomatis manusia pun memiliki potensi tersebut. Akan tetapi bukanlah berarti kemampuan manusia (makhluk) sama tingkatannya dengan kemampuan Allah (Khaliq). Hak ini disebabkan karena berbedanya hakekat antara keduanya. Sifat Allah merupakan sifat yang Maha Sempurna. Sedangkan potensi manusia merupakan potensi makhluk yang serba terbatas. Akibat dari keterbatasan itu, manusia menjadi makhluk yang senantiasa membutuhkan bantuan dan pertolongan dari Tuhannya dalam upaya memenuhi semua kebutuhannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan keterbatasannya dan ke-Mahakuasaan serta kesempurnaan Allah.
Dari definisi para ahli tentang fitrah manusia, secara eksplisit pada hakekatnya saling melengkapi antara satu batasan dengan batasan yang lainnya. Hal ini dapat terlihat dari kesimpulan yang diramu oleh Hasan Langgulung, yang mencoba menarik pengertian fitrah pada pengertian yang lebih luas, yaitu pada pengertian potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Namun demikian, potensi tersebut hanya merupakan embrio yang masih bersifat pasif dari semua kemampuan manusia. Ia memerlukan penempaan lebih lanjut dari lingkungannya – insani maupun non insani – sehingga ia mampu berkembang. Artinya, untuk mengaktifkan dan mengaktualkan potensi tersebut, manusia memerlukan bantuan orang lain dan hidayah Tuhannya. Tanpa adanya bantuan untuk mengaktifkan potensi itu, manusia tidak akan dapat menjalankan dan melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai wakil Allah SWT di muka bumi. Nabi SAW bersabda:
عن أبي هريرة d أن رسول الله j قال: ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ثم قال أبو هريرة واقرأوا إن شئتم فطرت الله التي فطر الناس عليها (رواه البخاري)

“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada orang yang dilahirkan (di dunia) kecuali dalam keadaan fitrah. Maka orang tualah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak yang telah melahirkan anak-anaknya, apakah engkau membersihkan unta yang termasuk binatang ternah? Kemudian Abu Hurairah RA mengatakan: bacalah jika kalian semua menghendakinya; (tetaplah atas) fitrah Allah SWT yang menciptakan manusia menurut fitrah itu” (HR. Bukhari).

Rujukan di atas memberikan pengertian, bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal, ikut mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah seorang anak. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, bila penempaan dan pembinaan fitrah yang dimiliki tidak pada fitrah-Nya, maka manusia akan tergelincir dari tujuan hidupnya.

C. JENIS-JENIS FITRAH MANUSIA
Meskipun para pemikir muslim lebih banyak mengartikan fitrah sebagai potensi beragama yang dibawa setiap manusia sejak berada di alam rahim, namun Ibn Taimiyah sebagaimana dikutip Juhaja S. Praja juga mengemukakan setidaknya dalam diri manusia itu terdapat tiga macam potensi (fitrah), yaitu:
Pertama, daya intelektual (quwwat al-‘Aql) yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
Kedua, daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
Ketiga, daya defensif (quwwat al-ghadab), yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya.
Di antara ketiga potensi tersebut, di samping potensi agama, potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (control) dua potensi lainnya. Dengan demikian akan dapat teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Kitab dan ajaran-ajaran-Nya. Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.
Menurut Muhammad Asyur seperti dikutip Quraish Shihab, berdasarkan batasan definisi fitrah di atas, maka macam-macam potensi dalam diri manusia itu meliputi seluruh dimensi manusia itu sendiri, di antaranya: pertama, potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua kaki, merupakan bentuk potensi jasadiah. Kedua, kemampuan manusia untuk menarik suatu kesimpulan dari sejumlah premis, merupakan bentuk potensi akliah. Ketiga, kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan sebagainya, merupakan bentuk potensi rohaniahnya.
Dalam batasan ini, Ibn Taimiyah sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid membagi fitrah manusia itu kepada dua bentuk, yaitu: sebagai fitrat al-gharizat dan fitrat al-munazzalat.
Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Bentuk fitrah (potensi) ini antara lain: nafsu, akal, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan oleh manusia melalui pendidikan. Sedangkan fitrat al-munazzalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud fitrah ini adalah wahyu Ilahi yang diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrah-Nya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara fitrat al-gharizat dengan fitrat al-munazzalat, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia (insan kamil). Akan tetapi bila hubungan keduanya tidak serasi, atau bahkan berbenturan, maka manusia akan semakin tergelincir dari fitrahnya yang hanif.
Uraian di atas memberikan sebuah pemahaman bahwa di dalam diri manusia tersimpan banyak potensi, bahkan meliputi seluruh dimensi manusia itu sendiri. Mulai dari potensi yang bersifat fisik (jasad) hingga potensi yang abstrak yang bersifat rohani namun memberikan pengaruh yang demikian besar terhadap diri manusia secara keseluruhan. Hanya saja potensi-potensi tersebut tidak dapat berkembang dengan sendirinya. Untuk itu perlu suatu sarana yang efektif untuk mengembangkannya agar teraktualisasi dalam kehidupannya sehari-hari.

D. CARA PENGEMBANGAN FITRAH MANUSIA
Dalam rangka mengembangkan fitrah (potensi) manusia, baik potensi jasmani maupun rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan. Hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan cara yang efektif untuk mengembangkan fitrah manusia tersebut. Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer kebudayaannya dari suatu komunitas kepada komunitas lainnya, mengetahui nilai baik dan buruk, dan lain sebagainya.
Untuk menciptakan suasana kondusif bagi terlaksananya proses tersebut, diperlukan bentuk interaksi proses belajar mengajar yang mampu menyentuh dan mengembangkan seluruh aspek manusia (peserta didik). Ketersentuhan seluruh aspek diri manusia akan mempermudah terangsangnya reaksi dan perhatian, serta keinginan peserta didik melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif.
Namun demikian, bila dilihat secara obyektif bentuk interaksi pendidikan yang dikembangkan akhir-akhir ini, terkesan mengalami kegagalan dalam melaksanakan visinya yang ideal. Hal ini dapat dilihat dari ketimpangan kepribadian peserta didik di era ini. Ketika mereka mampu mengembangkan aspek intelektualitasnya, pada waktu bersamaan mereka telah kehilangan aspek sosial dan religisitasnya, atau sebaliknya. Hal ini disebabkan berbagai faktor. Di antara faktor tersebut adalah bahwa bentuk interaksi pendidikan yang ditawarkan masih bersifat parsial dan belum mampu mengembangkan seluruh aspek peserta didik secara integral. Pelaksanaan kebijakannya masih terkesan "paket khusus" dan kurang demokratis. Akibatnya, interaksi yang ditawarkan kurang menarik bahkan membosankan. Bila ini terjadi, maka proses pendidikan tidak akan mampu berjalan secara efektif dan efisien. Fenomena ini terjadi karena pendidik belum mampu mengenal pribadi peserta didiknya secara utuh dan belum terakumulasi pada suatu sistem yang kondusif bagi pengembangan kepribadian peserta didik.
Merujuk kepada makna manusia yang ditunjukkan oleh Allah dalam al-Quran, secara teknis upaya pengembangan fitrah manusia dapat dilakukan dengan cara memformat interaksi pendidikan yang proporsional dan ideal. Dalam hal ini setidaknya ada dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
Pertama, pendekatan perkata.
Ketika Allah menggunakan terma al-basyar dalam menunjuk manusia sebagai makhluk biologis, maka interaksi pendidikan yang ditawarkan harus pula mampu menyentuh perkembangan potensi biologis (fisik) peserta didik. Ketika Allah menggunakan terma al-insan, maka interaksi pendidikan harus pula mampu mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta didik. Demikian pula ketika Allah menggunakan terma al-nas, maka interaksi pendidikan harus pula mampu menyentuh aspek kehidupan sosial peserta didik. Ketiga terma tersebut harus diformulasikan secara integral dan harmonis dalam setiap interaksi pendidikan yang ditawarkan. Hanya saja mungkin dalam operasionalnya, proporsi antara ketiga terma tersebut sedikit berbeda penekanannya, sesuai dengan materi dan tujuan yang ingin dicapai dari proses tersebut.
Kedua, pendekatan makna substansial.
Ketika Allah menunjuk ketiga terma tersebut dalam memaknai manusia, Allah SWT secara implisit telah melakukan serangkaian interaksi edukatif pada manusia secara proporsional. Allah telah memberikan kelebihan pada manusia dengan berbagai potensinya yang bersifat dinamis, di samping berbagai kelemahan dan keterbatasan manusia dalam menjalankan kehidupannya di muka bumi. Dengan berbagai potensi tersebut, manusia lebih unggul dan sempurna sesuai dengan tujuan penciptaannya, dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Di sisi lain, manusia bisa juga menjadi makhluk yang paling hina, tatkala seluruh potensi tersebut tak mampu diaktualkan dan diarahkan secara maksimal, sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam posisi ini, Allah telah memberikan kebebasan pada manusia untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya secara maksimal. Hanya saja, jika mereka ingin tetap dalam keridhaan-Nya, maka mereka dituntut untuk mempergunakan seluruh potensinya tersebut sesuai dengan batas-batas kapasitas kebebasan yang diberikan padanya. Untuk itu, Allah memberikan rambu-rambu dan berbagai konsekuensi atas aktivitas yang dilakukan manusia.
Dengan demikian jelaslah bahwa secara substansial, interaksi pendidikan yang ditawarkan semestinya harus mampu mengacu pada pesan Allah melalui ketiga term tersebut. Dalam hal ini, bentuk interaksi pendidikan harus mampu mengembangkan dan menyentuh seluruh aspek dan potensi yang dimiliki peserta didik secara optimal, serta berupaya untuk meminimalkan sifat-sifat kelemahan manusia yang terbatas tersebut muncul ke permukaan. Oleh sebab itu, karena pendidikan merupakan sarana yang paling efektif dan strategis untuk membantu manusia (peserta didik) mengenal dirinya dan memahami ajaran-ajaran Tuhannya, maka bentuk interaksi yang ditawarkan harus mampu melihat adanya diferensiasi individual antara individu peserta didik. Hal ini disebabkan karena eksistensi interaksi pendidikan pada dasarnya merupakan proses pengarahan dan pembinaan secara demokratis, bukan proses pembentukan dan pengekangan kepribadian peserta didik. Interaksi dari proses pengarahan dan pembinaan seluruh potensi dan aspek peserta didik harus pula dilakukan secara obyektif, universal, tanpa terpengaruh pada status sosial maupun ekonomi peserta didik. Proses tersebut harus pula mampu membantu mengantarkan peserta didik menjadi khalifah di muka bumi dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Ilahiah.

E. TUJUAN PENGEMBANGAN FITRAH MANUSIA
Di atas telah dikemukakan bahwa cara yang paling efektif untuk mengembangkan fitrah manusia adalah melalui pendidikan. Dalam hal ini tentunya pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan Islam. Dengan demikian berarti tujuan pengembangan fitrah manusia itu pada hakikatnya juga merupakan upaya pencapaian tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Menurut Abdul Munir Mulkhan, tujuan pendidikan Islam adalah sebagai proses pengaktualan akal peserta didik yang secara teknis dengan kecerdasan, terampil, dewasa dan berkepribadian muslim yang paripurna. Memiliki kebebasan dengan tetap menjaga nilai kemanusiaan yang ada pada diri manusia untuk dikembangkan secara proporsional Islami. Hasil kongres pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad, menyebutkan bahwa pendidikan Islam haruslah bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh, secara seimbang, melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, parasaan dan indera. Karena itu, pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, dan bahasa secara individual maupun kolektif. Mendorong semua aspek ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan, tujuan akhirnya adalah dengan perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia. Ringkasnya tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia sempurna (insan kamil) serta mampu menjalankan tugas dan fungsinya, baik sebagai 'abd (hamba Allah) maupun sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam pandangan Hasan Langgulung, tujuan sebagai hamba Allah yang senantiasa bertaqarrub kepada-Nya dan sebagai khalifah di muka bumi merupakan tujuan tertinggi daripada pendidikan Islam itu sendiri. Tujuan yang pertama sesuai dengan firman Allah SWT:
وَمَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ (الذاريات: 56)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”

Sementara tujuan yang kedua adalah sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
وَإِذْ قَـالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِى اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً قَـالُـوْآ اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الـدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَـالَ إِنِّيْ اَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ (البقرة: 30)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Berdasarkan penjelasan di atas dipahami dengan jelas bahwa tujuan pengembangan fitrah manusia itu secara optimal adalah agar mereka mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Dengan demikian mereka akan memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat nantinya. Sebab jika potensi itu tidak mendapatkan upaya pengembangan niscaya manusia tidak dapat pula melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut yang menyebabkan mereka akan menderita dan sengsara dalam menjalani hidup dan kehidupannya karena tidak mendapat keridhaan dari Allah SWT. Selain itu perlu pula dicatat bahwa tidak ada kehidupan yang lebih bahagia selain kehidupan yang mendapat keridhaan dari Tuhan yang telah menciptakan dirinya.

F. PENUTUP
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, manusia dipandang sebagai makhluk yang menyimpan multipotensi (fitrah), baik yang bersifat jasadiah (fisik) maupun rohaniah (psikis). Keseluruhan potensi tersebut tidak dapat berkembang dengan sendirinya, oleh karena itu ia membutuhkan sarana yang efektif untuk mengembangkannya sehingga dapat memberikan manfaat terhadap dirinya dan juga lingkungan sekitarnya. Sarana tersebut adalah proses pendidikan yang juga mesti ditujukan untuk mengoptimalkan segenap potensi manusia tersebut dalam sebuah interaksi pembelajaran dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Ilahiah.
Upaya pengembangan fitrah merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan. Jika tidak, maka keunggulan dan kelebihan manusia yang diberikan oleh Allah SWT tidak akan berarti apa-apa dibandingkan dengan makhluk lainnya di bumi. Potensi yang tidak teroptimalkan akan menghalangi manusia untuk melakukan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Ironisnya lagi bahkan manusia itu dapat terjerumus ke dalam jurang yang hina serta lebih rendah dari hewan sekali pun. Na'udzubillahi min dzalik.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Terjemahan, Rochman Achwan, Jakarta, LP3ES, 1989

Arifin, H.M., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta, Bumi Aksara, 1991

------, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendidikan Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1993

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, 1995

Al-Isfahaniy, al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran, Beirut, Dar al-Fikr, 1972

Al-Ja’fi, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut, Dar Ibnu Katsir, 1987

Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1984

-------, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 2003

Madjid, Nurcholis, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan, 1991

Manzhur, Ibn, Lisan al-‘Arab Mesir, Dar al-Mishriyyah, 1992

Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta, Sipress, 1993

an-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuhu, Damaskus, Dar al-Fikr, 1988

Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001

Praja, Juhaja S., Epistimologi Ibn Taimiyah, Jurnal Ulumul Quran, Vol. II, 1990/1411 H, No. 7

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Quran al-Hakim, Tafsir al-Manar, Juz. VII, Beirut, Dar al-Fikr, t.th

Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung, Mizan, 1996

2 komentar:

  1. Kenapa tak boleh di download???

    BalasHapus
  2. Wslm...maaf..langsung aja do copy..atau save page location....Rasanya saya sudah bebas kan semua untuk di download..mungkin ada kesalahan saya kali..maaf ya saudara.....

    BalasHapus

Komentar