Minggu, 28 Maret 2010

ANALISIS FILOSOFIS MENGENAI ALAT PENDIDIKAN ISLAM

A. PENDAHULUAN

Di dalam al-Quran secara tegas Allah SWT menyatakan bahwa maksud dan tujuan penciptaan manusia adalah untuk melakukan pengabdian (beribadah) hanya semata-mata kepada-Nya (QS. al-Dzariyat:56). Dalam proses penciptaan manusia itu, Allah SWT juga telah membekali manusia dengan berbagai potensi untuk menunjang kelangsungan hidupnya di dunia. Potensi tersebut di antaranya adalah akal yang tidak diberikan oleh Allah kepada makhluk lainnya kecuali kepada manusia. Dengan potensi akal tersebut manusia cenderung berkeinginan untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya yang diwujudkan dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik. Ketika Adam as masih berada di dalam surga, Allah SWT juga telah mengajarkan kepadanya nama-nama segala sesuatu yang ada di surga.[1] Dengan demikian, motivasi untuk belajar pada hakikatnya telah menjadi fitrah dalam diri setiap manusia.

Potensi atau fitrah dalam diri manusia itu tidaklah dapat berkembang begitu saja tanpa melalui suatu proses pendidikan. Dalam perspektif pendidikan Islam, tujuan utama yang ingin dicapai adalah memaksimalkan seluruh potensi manusia guna mewujudkan tugas utamanya yaitu memakmurkan bumi Allah SWT (khalifah fi al-ardh) di samping semata-mata mengabdi kepada Allah SWT melalui internalisasi nilai-nilai dengan menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik kepribadiannya. Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut akan sangat efektif apabila didukung oleh alat/media penunjang yang disebut alat/media pendidikan, baik berupa benda (materi) maupun nonmateri (tindakan).

Makalah ini berupaya memaparkan analisis filosofis mengenai alat pendidikan Islam yang meliputi beberapa subpokok bahasan antara lain: pengertian alat pendidikan, landasan filosofis, bentuk-bentuk, serta fungsi alat pendidikan Islam itu sendiri.

B. PENGERTIAN ALAT PENDIDIKAN ISLAM

Alat pendidikan Islam merupakan perpaduan antara tiga kata yang memiliki satu makna. Namun sebelum mendefinisikan frase tersebut, ada baiknya terlebih dahulu dipahami pengertian masing-masing kata dalam frase itu sendiri, baik dari segi bahasa maupun istilah.

Secara etimologi “alat” diartikan sesuatu barang yang dipakai untuk mencapai suatu maksud.[2] Sedangkan "pendidikan" adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[3] Dengan demikian alat pendidikan berarti sesuatu barang atau benda yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.

Pengertian ini juga dikemukakan Ahmad D. Marimba bahwa alat pendidikan adalah komponen pendidikan yang sengaja dibuat dan digunakan demi pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan.[4] Dari definisi ini, alat merupakan satu komponen pendidikan yang bekerjasama dengan sejumlah komponen lainnya sebagai sebuah sistem untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika satu komponennya tidak bekerja, akan mempengaruhi komponen-komponen lainnya. Bahkan dapat menyebabkan komponen lainnya tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.

Zakiah Daradjat cenderung menyamakan istilah alat pendidikan dengan media pendidikan dan juga sarana pendidikan.[5] Dalam artian tidak ada perbedaan antara alat, media dan juga sarana. Ketiga istilah tersebut diartikan dengan satu makna. Sedangkan dalam istilah asing, sementara ahli menggunakan istilah audio visual aids (AVA), teaching material, dan instructional material.[6] Secara harfiah, term media berasal dari bahasa Latin dan bentuk jamak dari medium.[7] Selain itu, media juga berarti perantara atau pengantar.[8] Secara istilah, terdapat batasan rumusan para ahli terhadap term “media”, antara lain seperti dikemukakan oleh Gagne yang dipopulerkan oleh Arif S. Sadiman, bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan peserta didik yang dapat merangsangnya untuk belajar.[9] Senada dengan hal tersebut, Briggs mendefinisikan media sebagai segala bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang siswa untuk belajar.[10]

Selanjutnya istilah "Islam" berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah, lahir maupun batin dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.[11] Kata “Islam” seperti diterangkan oleh al-Quran juga berarti menyerahkan diri seluruhnya kepada kehendak Tuhan Yang Maha Esa.[12] Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 19: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam".

Sementara definisi pendidikan Islam berdasarkan hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 di Cipayung, Bogor adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.[13] Istilah mengarahkan, mengasuh, mengajarkan atau melatih mengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam.[14]

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa "alat pendidikan Islam" adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mempengaruhi jiwa anak didik agar menjadi insan yang bertakwa, berakhlak dan menegakkan kebenaran sesuai dengan ajaran Islam dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah dan juga khalifah di muka bumi.

C. LANDASAN FILOSOFIS

Allah SWT mengarahkan firman-firman-Nya kepada manusia karena manusia telah dilengkapi-Nya dengan potensi akal pikiran sebagai suatu keistimewaan dari makhluk lainnya. Dengan akalnya, manusia dapat memilih alternatif-alternatif tentang baik atau buruk, salah atau benar, bermanfaat atau tidak bermanfaat, baik dilihat dari Tuhan, manusia ataupun dirinya sendiri. Dengan demikian metode yang terkandung dalam khitab tersebut adalah berupa “metode pemberian alternatif”, melalui ungkapan-ungkapan historis, simbolis, instruksi (perintah) dan larangan dalam susunan nilai hukum yang kategorial (wajib, sunat, mubah, makruh dan haram).[15]

Perintah dan larangan sebagai dipahami dari pernyataan di atas merupakan satu bentuk pentingnya pemanfaatan alat dalam proses pendidikan manusia. Perintah dan larangan di sini termasuk alat pendidikan dalam bentuk tindakan, bukan bersifat materi (benda). Berkenaan dengan perintah dan larangan ini, banyak ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan mengenai hal tersebut. Misalnya, ayat-ayat yang memerintahkan untuk melaksanakan ibadah shalat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Demikian halnya ayat-ayat yang mengisyaratkan larangan untuk mengerjakan sesuatu, seperti larangan berbuat kerusakan di permukaan bumi, larangan memakan riba, larangan membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah SWT, dan lain sebagainya. Hadis-hadis Rasulullah SAW juga banyak yang mengisyaratkan perintah dan larangan ini.

Dengan demikian jelaslah bahwa al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW merupakan landasan filosofis yang sejak 14 abad yang lampau telah memberikan isyarat mengenai pentingnya alat pendidikan terutama yang berkenaan dengan tindakan. Sebab alat pendidikan yang bersifat tindakan ini dapat lebih berbekas pada diri anak didik dan memberikan kesan yang lebih mendalam.

D. BENTUK-BENTUK ALAT PENDIDIKAN ISLAM

Pada dasarnya yang dinamakan alat ini luas sekali artinya, segala perlengkapan yang dipakai dalam usaha pendidikan disebut alat pendidikan. Di samping sebagai perlengkapan, alat pendidikan juga merupakan pembantu mempermudah tercapainya tujuan pendidikan.

Alat pendidikan itu sendiri bermacam-macam, antara lain: hukuman dan ganjaran, perintah dan larangan, celaan dan pujian, contoh serta kebiasaan. Termasuk juga sebagai alat pendidikan di antaranya, keadaan gedung sekolah, keadaan perlengkapan sekolah, keadaan alat-alat pelajaran, dan fasilitas-fasilitas lainnya. Berdasarkan hal ini, maka alat pendidikan itu ada yang bersifat abstrak (nonmateri) dan ada yang bersifat benda (materi).

Ditinjau dari segi wujudnya, alat pendidikan dapat berupa: 1) perbuatan pendidik (software), mencakup nasihat, teladan, larangan, perintah, pujian, teguran, ancaman dan hukuman. 2) benda-benda sebagai alat bantu (hardware) mencakup meja kursi belajar, papan tulis, penghapus, kapur tulis, buku, peta, OHP, dan sebagainya.[16]

Sementara itu tindakan pendidikan yang merupakan alat pendidikan dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, berikut:

Pertama, pengaruh tindakan terhadap tingkah laku anak didik, antara lain: (1) tindakan yang bersifat positif mendorong anak didik untuk melakukan serta meneruskan tingkah laku tertentu, seperti teladan, perintah, pujian, dan hadiah dan (2) tindakan yang bersifat mengekang mendorong anak didik untuk menjauhi serta menghentikan tingkah laku tertentu, seperti larangan, teguran, dan hukuman.

Kedua, akibat tindakan terhadap perasaan anak didik, antara lain: (1) menyenangkan anak didik, seperti pujian dan hadiah dan (2) tidak menyenangkan dan menyebabkan anak didik menderita seperti ancaman dan hukuman.

Ketiga, bersifat melindungi anak didik, terdiri dari: (1) mencegah atau mengarahkan, seperti perintah, teladan, dan larangan, (2) memperbaiki, seperti teguran, ancaman dan hukuman.

Berikut akan diuraikan secara ringkas beberapa alat pendidikan dalam bentuk “tindakan” berdasarkan perspektif pendidikan Islam itu sendiri, yaitu:

1. Keteladanan

Tingkah laku, cara berbuat, dan berbicara akan ditiru oleh anak. Dengan teladan ini, lahirlah gejala identifikasi positif, yakni penyamaan diri dengan orang-orang yang ditiru. Identifikasi positif itu penting sekali dalam pembentukan kepribadian. Karena itulah teladan merupakan alat pendidikan yang utama, sebab terikat erat dalam pergaulan dan berlangsung secara wajar. Hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik adalah kejelasan tentang tingkah laku mana yang harus ditiru atau yang sebaliknya. Teladan dimaksudkan untuk membiasakan anak didik dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Menurut al-Ghazali seperti yang disitir oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, terdapat beberapa sifat penting yang harus dimiliki oleh pendidik sebagai seorang yang diteladani, yaitu: 1) amanah dan tekun bekerja, 2) bersifat lemah lembut dan kasih sayang terhadap murid, 3) dapat memahami dan berlapang dada dalam ilmu serta orang-orang yang mengajarkannya, 4) tidak rakus pada materi, 5) berpengetahuan luas, dan 6) istiqamah dan memegang teguh prinsip.[17] Al-Ghazali juga menambah-kan bahwa terdapat beberapa sifat penting yang harus terinternalisasi dalam diri peserta didik, yaitu: 1) rendah hati, 2) mensucikan diri dari segala keburukan, dan 3) taat dan istiqamah. Karena beberapa sifat terakhir perlu dimiliki peserta didik, maka pendidik hendaknya menjadi teladan dari sifat-sifat tersebut.

2. Anjuran, Perintah dan Larangan

Kalau pada alat pendidikan berupa keteladanan anak dapat melihatnya tercermin pada seseorang yang diidolakannya sebagai sebuah proses identifikasi, maka di dalam alat pendidikan berupa ajuran, perintah dan larangan anak mendengar apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Perintah adalah tindakan pendidik menyuruh anak didik melakukan sesuatu.[18] Sedangkan larangan merupakan tindakan pendidik menyuruh anak didik tidak melakukan atau menghindari tingkah laku tertentu. Alat ini adalah sebagai pembentuk disiplin secara positif. Disiplin diperlukan dalam pembentukan kepribadian, terutama karena nanti akan menjadi disiplin sendiri, dengan penanaman disiplin luar terlebih dahulu.

Khusus berkenaan dengan alat pendidikan berupa perintah dan larangan, hal ini sesungguhnya merupakan implementasi dari konsep amar ma'ruf nahi munkar. Kemudian dalam memberikan perintah terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pendidik:

3. Pujian dan Hadiah

Merupakan tindakan pendidik yang fungsinya memperkuat penguasaan tujuan pendidikan tertentu yang telah dicapai anak didik. Hadiah dalam hal ini tidak mesti selalu berwujud barang. Aggukan kepala dengan wajah berseri, menunjukkan jempol si pendidik, sudah merupakan satu hadiah, yang pengaruhnya besar sekali, seperti memotivasi, menggembirakan, dan menambah kepercayaan dirinya. Pujian dan hadiah harus diberikan pada saat yang tepat, yaitu segera sesudah anak didik berhasil. Jangan diberikan sebagai janji, karena akan dijadikan sebagai tujuan kegiatan yang dilakukan.

4. Teguran

Satu hal yang perlu disadari, bahwa manusia bersifat tidak sempurna, maka kemungkinan-kemungkinan untuk berbuat khilaf dan salah, penyimpangan-penyimpangan dari anjuran selalu ada, lagi pula perlu diperhatikan bahwa anak-anak bersifat pelupa, cepat melupakan larangan-larangan, atau perintah yang baru saja diberikan kepadanya. Karenanya sebelum kesalahan itu berlangsung lebih jauh, perlu adanya koreksi dan teguran. Teguran dapat berupa kata-kata, tetapi dapat juga berupa isyarat-isyaratnya, misalnya pandangan mata yang tajam, dengan menunjuk lewat jari, dan sebagainya. Teguran ini juga merupakan tindakan pendidik untuk mengoreksi pencapaian tujuan pendidikan oleh anak didik.

5. Peringatan dan Ancaman

Peringatan diberikan kepada anak yang telah beberapa jali melakukan pelanggaran, dan telah diberikan teguran pula atas pelanggarnya. Dalam memberikan peringatan ini, bisanya disertai dengan ancaman akan sanksinya. Karena itulah, ancaman merupakan tindakan pendidik mengoreksi secara keras tingkah laku anak didik yang tidak diharapkan, dan disertai perjanjian jika terulang lagi akan dikenakan hukuman atau sanksi.

Ancaman lazimnya akan menimbulkan ketakutan, dan melahirkan kemungkinan anak didik menerima karena mengerti dan penuh kesadaran, atau anak didik menerima karena takut atau anak didik menolak karena tidak mau dipaksa. Alat berupa ancaman ini dianjurkan jangan dibiasakan dan digunakan kecuali hanya pada saat yang tepat saja.

6. Hukuman

Menghukum adalah memberikan atau mengadakan nestapa atau penderitaan dengan sengaja kepada anak didik dengan maksud agar penderitaan tersebut betul-betul dirasakannya, untuk menuju ke arah perbaikan. Dengan demikian hukuman merupakan alat pendidikan istimewa, sebab membuat anak didik menderita. Dalam hal pemberian hukuman ini, paling tidak ada dua prinsip dasar mengapa diadakan, yaitu: a) hukuman diadakan karena adanya pelanggaran, adanya kesalahan yang diperbuat, dan b) hukuman diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi pelanggaran.[19]

E. FUNGSI ALAT PENDIDIKAN ISLAM

Setelah mengemukakan bentuk-bentuk alat pendidikan di atas, berikut dikemukakan juga beberapa pendapat ahli pendidikan mengenai fungsi alat pendidikan. Yusuf Hadi Miarso seperti disitir Amir Daien Indra Kusuma menyatakan bahwa alat pendidikan mempunyai nilai-nilai praktis berupa kemampuan, yaitu: a) membuat konkrit konsep yang abstrak, b) membawa obyek yang sukar didapat ke dalam lingkungan belajar siswa, c) menampilkan obyek yang terlalu besar, d) menampilkan obyek yang tak dapat diamati dengan mata telanjang, e) mengamati gerakan yang terlalu cepat, f) memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi bagi pengalaman belajar siswa, g) membangkitkan motivasi belajar, dan h) menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun di simpan menurut kebutuhan.[20]

Fungsi alat pendidikan lainnya juga dikemukakan oleh Abu Bakar Muhammad sebagai berikut: a) mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dalam memperjelas materi pelajaran yang sulit, b) mampu mempermudah pemahaman, dan menjadikan pelajaran lebih hidup dan menarik, c) merangsang anak untuk bekerja dan menggerakkan naluri kecintaan menelaah (belajar) dan menimbulkan kemauan keras untuk mempelajari sesuatu, d) membantu pembentukan kebiasaan, melahirkan pendapat, memperhatikan dan memikirkan suatu pelajaran, serta e) menimbulkan kekuatan perhatian (ingatan), mempertajam indera dan melatihnya, memperhalus perasaan dan cepat belajar.[21]

Sedangkan alat dalam perspektif pendidikan Islam berupa “tindakan” lebih banyak tujuannya untuk pembentukan pribadi yang baik atau sempurna atau yang diistilahkan dengan insan kamil. Kesempurnaan itu ditandai dengan teroptimal-kannya seluruh potensi yang ada pada diri individu untuk kebahagiaan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Pendidikan Islam sangat berperan untuk tugas itu, sehingga murid akan memiliki akhlak dan moral yang luhur. Itulah yang membedakan pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya.

F. ANALISIS KRITIS

Penggunaan alat dalam pendidikan Islam pada hakikatnya lebih banyak berbentuk tindakan maupun perbuatan, seperti nasehat, perintah, anjuran, larangan, peringatan, teguran, pujian, ganjaran dan hukuman dan lain sebagainya. Sebab alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan Islam itu sendiri yaitu membina pribadi muslim yang bersikap dan bertingkah laku yang sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan alat-alat tersebut dapat pula bersentuhan langsung dengan dimensi psikis (kejiwaan) peserta didik.

Alat pendidikan Islam berupa nasehat, perintah, anjuran, larangan, peringatan, teguran, pujian di atas banyak bersifat verbal (lisan) dari seorang pendidik yang kemudian didengar oleh peserta didik. Artinya bentuk alat tersebut muncul melalui pembicaraan seorang pendidik kepada peserta didiknya. Namun dalam berbicara kepada peserta didik, seringkali seorang pendidik kurang memperhatikan tata cara/adab yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan pembicaraan tersebut. Akibatnya seringkali pula seorang pendidik gagal mencapai hasil yang diinginkan dari pemanfaatan alat pendidikan Islam tersebut.

Agar persoalan di atas dapat diantisipasi, ada beberapa etika berbicara yang populer di kalangan ahli komunikasi Islam, seperti: a) qoulan karima (perkataan yang mulia), b) qoulan sadida (perkataan yang benar/lurus), c) qoulan ma’rufa (perkataan yang baik), d) qoulan baligha (perkataan yang efektif/keterbukaan), e) qoulan layyina (perkataan yang lemah lembut), dan f) qoulan maisura (perkataan yang pantas). Agaknya jika hal ini dijelaskan satu persatu memerlukan pembahasan dan waktu yang sangat panjang. Yang jelas, jika seorang pendidik berpedoman dan mampu mengaplikasikan etika berbicara tersebut dalam proses pendidikan tentu akan membuahkan hasil yang memuaskan.

G. PENUTUP

Proses pendidikan Islam tidak mengabaikan sama sekali peranan alat dalam mewujudkan tujuannya dalam membentuk pribadi muslim yang sempurna. Bahkan sebaliknya, pendidikan Islam sangat mementingkan penggunaan alat tersebut, terutama yang bersifat tindakan maupun perbuatan karena dapat meninggalkan kesan yang lebih mendalam pada diri peserta didik guna mengarahkan perilaku mereka sesuai dengan ajaran Islam.

Selain itu, alat pendidikan Islam tersebut juga efektif untuk menanamkan akidah atau keimanan yang kokoh pada diri anak didik. Hal itu tidak saja dapat dilakukan di lingkungan sekolah, akan tetapi juga dapat dilakukan oleh setiap orang tua dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arifin, H.M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2003

Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1984

--------, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1995

Hamalik, Oemar, Media Pendidikan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989

Indrakusuma, Amir Daien, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional, t.th

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, PT. Alma’arif, 1962

Meichati, Siti, Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta, FIP IKIP, 1976

Muhammad, Abu Bakar, Pedoman Pendidikan dan Pengajaran, Surabaya, Usaha Nasional, 1981

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press, 2002

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1982

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2004

Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2003

Sadiman, Arif S., Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatan, Jakarta, Pustekom Dikbud dan CV. Rajawali, 1986

Sulaiman, Fathiyyah Hasan, Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu, Bandung, CV. Diponegoro, 1986



[1]Proses interaksi antara Allah SWT dengan Nabi Adam as ini dikisahkan dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 29-33.

[2]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 30

[3]Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), cet.ke-1, h. 2

[4]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Alma’arif, 1962), cet.ke-2, h. 50

[5]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1984), h. 80

[6] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), cet.ke-4, h. 180

[7]Oemar Hamalik, Media Pendidikan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), h. 11

[8]W.J.S. Poerwadarminta, op.cit., h. 155

[9]Arif S. Sadiman, Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatan, (Jakarta: Pustekom Dikbud dan CV. Rajawali, 1986), cet.ke-1, h. 86

[10]Ibid.

[11]Zakiah Daradjat, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Edisi. 2, cet.ke-1, h. 59

[12]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2002), Jilid I, Ed. II, cet.ke-2, h. 13

[13]Keputusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia di Cipayung, Bogor, Tanggal 7-11 Mei 1960

[14]Ibid

[15]H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), cet.ke-1, h. 102

[16]Siti Meichati, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: FIP IKIP, 1976), h. 85

[17]Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu, (Bandung: CV. Diponegoro, 1986), cet.ke-1, h. 63

[18]Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, t.th), h. 141

[19]Ibid., h. 147

[20]Ibid., h. 146

[21]Abu Bakar Muhammad, Pedoman Pendidikan dan Pengajaran, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 97

HAKIKAT FITRAH MANUSIA

A. PENDAHULUAN
Makhluk terbaik yang diciptakan Allah di alam ini bernama manusia. Struktur manusia terdiri atas unsur jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (psikologis). Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, dan menurut aliran behaviourisme disebut prepotence reflexes (kemampuan dasar yang dapat berkembang).
Dalam pandangan Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut fitrah. Kata ini mengandung sejumlah pengertian ditinjau dari berbagai sudut pandang oleh para pemikir muslim. Sebagian mereka mengartikan fitrah sebagai potensi beragama yang dibawa manusia semenjak di dalam rahim ketika mengikat perjanjian dengan Tuhan, sebagian lainnya mengartikan sebagai kemampuan-kemampuan jasmaniah dan rohaniah. Kendati demikian perbedaan tersebut menuju kepada satu tujuan yaitu menciptakan seorang muslim yang mampu mengemban tugas dan fungsinya sebagai ‘abd maupun sebagai khalifah di muka bumi. Pandangan tersebut sangat bertolak belakang dengan pandangan para ahli Barat terhadap potensi manusia dalam beberapa aliran psikologi yang jauh dari nilai-nilai religius. Selanjutnya makalah ini mencoba menguraikan pokok-pokok penting berkenaan dengan fitrah manusia, seperti makna fitrah, jenis-jenis fitrah, cara serta tujuan pengembangan fitrah itu sendiri.

B. PENGERTIAN FITRAH
Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk Allah lainnya, terangkum dalam kata fitrah. Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara ( فطر ) yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr ( الفطر ) yang berarti belahan atau pecahan. Secara umum pemaknaan kata fitrah dalam al-Quran dapat dikelompokkan setidaknya pada empat makna, yaitu: 1) proses penciptaan langit dan bumi, 2) proses penciptaan manusia, 3) pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang serta 4) pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya (ma’rifat al-iman). Selanjutnya bila makna kata fitrah dikaitkan pada manusia dapat dipahami dengan merujuk firman Allah surat al-Ruum ayat 30 sebagai berikut:
...فطرة الله التى فطر الناس عليها... (الروم : 30)
“…Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu…”.

Secara umum, para pemikir muslim cenderung memaknainya sebagai potensi manusia untuk beragama (tauhid ila Allah). Di pihak lain, ada juga yang memaknai fitrah sebagai iman bawaan yang telah diberikan Allah sejak manusia dalam alam rahim. Pendapat ini merujuk pada QS. al-A’raf [7]: 172 di bawah ini:
وإذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنا كنا عن هذا غافلين (الأعراف : 172)
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: betul engkau Tuhan kami, kamu menjadi saksi. Kami melakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (Keesaan Tuhan)”.
Secara lebih komprehensif, Muhammad bin Asyur, seperti dikutip Quraish Shihab mendefinisikan fitrah sebagai berikut:
اَلْفِطْرَةُ هِيَ النِّظَامُ الَّذِي أَوْجَدَهُ اللهُ فِى كُلِّ مَخْلُوْقٍ، وَاْلفِطْرَةُ الَّتِيْ تَخُصُّ نَوْعَ اْلإِنْسَانِ هِيَ مَا خَلَقَهُ اللهُ عَلَيْهِ جَسَدًا أَوْ عَقْلاً.
“Fitrah (makhluk) adalah bentuk lain dari sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya”.

Dalam batasan ini terlihat term fitrah diartikan sebagai potensi jasmaniah dan akal yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan potensi tersebut, manusia mampu melaksanakan “amanat” yang dibebankan oleh Allah kepadanya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa fitrah merupakan semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah SWT. Potensi-potensi manusia dalam konteks ini, menurut Hasan Langgulung adalah suatu keterpaduan yang terangkum dalam al-Asma’ al-Husna Allah (sifat-sifat Allah). Batasan ini memberikan suatu pengertian – dalam ilustrasi – jika Allah memiliki sifat al-‘Ilmu (Maha Mengetahui), maka manusia pun memiliki potensi untuk bersifat sebagaimaan sifat al-‘Ilmu-Nya. Demikian pula jika Allah memiliki sifat al-Sama’ (Maha Mendengar), al-Bashar (Maha Melihat) dan sebagainya, maka otomatis manusia pun memiliki potensi tersebut. Akan tetapi bukanlah berarti kemampuan manusia (makhluk) sama tingkatannya dengan kemampuan Allah (Khaliq). Hak ini disebabkan karena berbedanya hakekat antara keduanya. Sifat Allah merupakan sifat yang Maha Sempurna. Sedangkan potensi manusia merupakan potensi makhluk yang serba terbatas. Akibat dari keterbatasan itu, manusia menjadi makhluk yang senantiasa membutuhkan bantuan dan pertolongan dari Tuhannya dalam upaya memenuhi semua kebutuhannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan keterbatasannya dan ke-Mahakuasaan serta kesempurnaan Allah.
Dari definisi para ahli tentang fitrah manusia, secara eksplisit pada hakekatnya saling melengkapi antara satu batasan dengan batasan yang lainnya. Hal ini dapat terlihat dari kesimpulan yang diramu oleh Hasan Langgulung, yang mencoba menarik pengertian fitrah pada pengertian yang lebih luas, yaitu pada pengertian potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Namun demikian, potensi tersebut hanya merupakan embrio yang masih bersifat pasif dari semua kemampuan manusia. Ia memerlukan penempaan lebih lanjut dari lingkungannya – insani maupun non insani – sehingga ia mampu berkembang. Artinya, untuk mengaktifkan dan mengaktualkan potensi tersebut, manusia memerlukan bantuan orang lain dan hidayah Tuhannya. Tanpa adanya bantuan untuk mengaktifkan potensi itu, manusia tidak akan dapat menjalankan dan melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai wakil Allah SWT di muka bumi. Nabi SAW bersabda:
عن أبي هريرة d أن رسول الله j قال: ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ثم قال أبو هريرة واقرأوا إن شئتم فطرت الله التي فطر الناس عليها (رواه البخاري)

“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada orang yang dilahirkan (di dunia) kecuali dalam keadaan fitrah. Maka orang tualah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak yang telah melahirkan anak-anaknya, apakah engkau membersihkan unta yang termasuk binatang ternah? Kemudian Abu Hurairah RA mengatakan: bacalah jika kalian semua menghendakinya; (tetaplah atas) fitrah Allah SWT yang menciptakan manusia menurut fitrah itu” (HR. Bukhari).

Rujukan di atas memberikan pengertian, bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal, ikut mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah seorang anak. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, bila penempaan dan pembinaan fitrah yang dimiliki tidak pada fitrah-Nya, maka manusia akan tergelincir dari tujuan hidupnya.

C. JENIS-JENIS FITRAH MANUSIA
Meskipun para pemikir muslim lebih banyak mengartikan fitrah sebagai potensi beragama yang dibawa setiap manusia sejak berada di alam rahim, namun Ibn Taimiyah sebagaimana dikutip Juhaja S. Praja juga mengemukakan setidaknya dalam diri manusia itu terdapat tiga macam potensi (fitrah), yaitu:
Pertama, daya intelektual (quwwat al-‘Aql) yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
Kedua, daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
Ketiga, daya defensif (quwwat al-ghadab), yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya.
Di antara ketiga potensi tersebut, di samping potensi agama, potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (control) dua potensi lainnya. Dengan demikian akan dapat teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Kitab dan ajaran-ajaran-Nya. Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.
Menurut Muhammad Asyur seperti dikutip Quraish Shihab, berdasarkan batasan definisi fitrah di atas, maka macam-macam potensi dalam diri manusia itu meliputi seluruh dimensi manusia itu sendiri, di antaranya: pertama, potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua kaki, merupakan bentuk potensi jasadiah. Kedua, kemampuan manusia untuk menarik suatu kesimpulan dari sejumlah premis, merupakan bentuk potensi akliah. Ketiga, kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan sebagainya, merupakan bentuk potensi rohaniahnya.
Dalam batasan ini, Ibn Taimiyah sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid membagi fitrah manusia itu kepada dua bentuk, yaitu: sebagai fitrat al-gharizat dan fitrat al-munazzalat.
Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Bentuk fitrah (potensi) ini antara lain: nafsu, akal, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan oleh manusia melalui pendidikan. Sedangkan fitrat al-munazzalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud fitrah ini adalah wahyu Ilahi yang diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrah-Nya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara fitrat al-gharizat dengan fitrat al-munazzalat, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia (insan kamil). Akan tetapi bila hubungan keduanya tidak serasi, atau bahkan berbenturan, maka manusia akan semakin tergelincir dari fitrahnya yang hanif.
Uraian di atas memberikan sebuah pemahaman bahwa di dalam diri manusia tersimpan banyak potensi, bahkan meliputi seluruh dimensi manusia itu sendiri. Mulai dari potensi yang bersifat fisik (jasad) hingga potensi yang abstrak yang bersifat rohani namun memberikan pengaruh yang demikian besar terhadap diri manusia secara keseluruhan. Hanya saja potensi-potensi tersebut tidak dapat berkembang dengan sendirinya. Untuk itu perlu suatu sarana yang efektif untuk mengembangkannya agar teraktualisasi dalam kehidupannya sehari-hari.

D. CARA PENGEMBANGAN FITRAH MANUSIA
Dalam rangka mengembangkan fitrah (potensi) manusia, baik potensi jasmani maupun rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan. Hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan cara yang efektif untuk mengembangkan fitrah manusia tersebut. Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer kebudayaannya dari suatu komunitas kepada komunitas lainnya, mengetahui nilai baik dan buruk, dan lain sebagainya.
Untuk menciptakan suasana kondusif bagi terlaksananya proses tersebut, diperlukan bentuk interaksi proses belajar mengajar yang mampu menyentuh dan mengembangkan seluruh aspek manusia (peserta didik). Ketersentuhan seluruh aspek diri manusia akan mempermudah terangsangnya reaksi dan perhatian, serta keinginan peserta didik melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif.
Namun demikian, bila dilihat secara obyektif bentuk interaksi pendidikan yang dikembangkan akhir-akhir ini, terkesan mengalami kegagalan dalam melaksanakan visinya yang ideal. Hal ini dapat dilihat dari ketimpangan kepribadian peserta didik di era ini. Ketika mereka mampu mengembangkan aspek intelektualitasnya, pada waktu bersamaan mereka telah kehilangan aspek sosial dan religisitasnya, atau sebaliknya. Hal ini disebabkan berbagai faktor. Di antara faktor tersebut adalah bahwa bentuk interaksi pendidikan yang ditawarkan masih bersifat parsial dan belum mampu mengembangkan seluruh aspek peserta didik secara integral. Pelaksanaan kebijakannya masih terkesan "paket khusus" dan kurang demokratis. Akibatnya, interaksi yang ditawarkan kurang menarik bahkan membosankan. Bila ini terjadi, maka proses pendidikan tidak akan mampu berjalan secara efektif dan efisien. Fenomena ini terjadi karena pendidik belum mampu mengenal pribadi peserta didiknya secara utuh dan belum terakumulasi pada suatu sistem yang kondusif bagi pengembangan kepribadian peserta didik.
Merujuk kepada makna manusia yang ditunjukkan oleh Allah dalam al-Quran, secara teknis upaya pengembangan fitrah manusia dapat dilakukan dengan cara memformat interaksi pendidikan yang proporsional dan ideal. Dalam hal ini setidaknya ada dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
Pertama, pendekatan perkata.
Ketika Allah menggunakan terma al-basyar dalam menunjuk manusia sebagai makhluk biologis, maka interaksi pendidikan yang ditawarkan harus pula mampu menyentuh perkembangan potensi biologis (fisik) peserta didik. Ketika Allah menggunakan terma al-insan, maka interaksi pendidikan harus pula mampu mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta didik. Demikian pula ketika Allah menggunakan terma al-nas, maka interaksi pendidikan harus pula mampu menyentuh aspek kehidupan sosial peserta didik. Ketiga terma tersebut harus diformulasikan secara integral dan harmonis dalam setiap interaksi pendidikan yang ditawarkan. Hanya saja mungkin dalam operasionalnya, proporsi antara ketiga terma tersebut sedikit berbeda penekanannya, sesuai dengan materi dan tujuan yang ingin dicapai dari proses tersebut.
Kedua, pendekatan makna substansial.
Ketika Allah menunjuk ketiga terma tersebut dalam memaknai manusia, Allah SWT secara implisit telah melakukan serangkaian interaksi edukatif pada manusia secara proporsional. Allah telah memberikan kelebihan pada manusia dengan berbagai potensinya yang bersifat dinamis, di samping berbagai kelemahan dan keterbatasan manusia dalam menjalankan kehidupannya di muka bumi. Dengan berbagai potensi tersebut, manusia lebih unggul dan sempurna sesuai dengan tujuan penciptaannya, dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Di sisi lain, manusia bisa juga menjadi makhluk yang paling hina, tatkala seluruh potensi tersebut tak mampu diaktualkan dan diarahkan secara maksimal, sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam posisi ini, Allah telah memberikan kebebasan pada manusia untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya secara maksimal. Hanya saja, jika mereka ingin tetap dalam keridhaan-Nya, maka mereka dituntut untuk mempergunakan seluruh potensinya tersebut sesuai dengan batas-batas kapasitas kebebasan yang diberikan padanya. Untuk itu, Allah memberikan rambu-rambu dan berbagai konsekuensi atas aktivitas yang dilakukan manusia.
Dengan demikian jelaslah bahwa secara substansial, interaksi pendidikan yang ditawarkan semestinya harus mampu mengacu pada pesan Allah melalui ketiga term tersebut. Dalam hal ini, bentuk interaksi pendidikan harus mampu mengembangkan dan menyentuh seluruh aspek dan potensi yang dimiliki peserta didik secara optimal, serta berupaya untuk meminimalkan sifat-sifat kelemahan manusia yang terbatas tersebut muncul ke permukaan. Oleh sebab itu, karena pendidikan merupakan sarana yang paling efektif dan strategis untuk membantu manusia (peserta didik) mengenal dirinya dan memahami ajaran-ajaran Tuhannya, maka bentuk interaksi yang ditawarkan harus mampu melihat adanya diferensiasi individual antara individu peserta didik. Hal ini disebabkan karena eksistensi interaksi pendidikan pada dasarnya merupakan proses pengarahan dan pembinaan secara demokratis, bukan proses pembentukan dan pengekangan kepribadian peserta didik. Interaksi dari proses pengarahan dan pembinaan seluruh potensi dan aspek peserta didik harus pula dilakukan secara obyektif, universal, tanpa terpengaruh pada status sosial maupun ekonomi peserta didik. Proses tersebut harus pula mampu membantu mengantarkan peserta didik menjadi khalifah di muka bumi dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Ilahiah.

E. TUJUAN PENGEMBANGAN FITRAH MANUSIA
Di atas telah dikemukakan bahwa cara yang paling efektif untuk mengembangkan fitrah manusia adalah melalui pendidikan. Dalam hal ini tentunya pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan Islam. Dengan demikian berarti tujuan pengembangan fitrah manusia itu pada hakikatnya juga merupakan upaya pencapaian tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Menurut Abdul Munir Mulkhan, tujuan pendidikan Islam adalah sebagai proses pengaktualan akal peserta didik yang secara teknis dengan kecerdasan, terampil, dewasa dan berkepribadian muslim yang paripurna. Memiliki kebebasan dengan tetap menjaga nilai kemanusiaan yang ada pada diri manusia untuk dikembangkan secara proporsional Islami. Hasil kongres pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad, menyebutkan bahwa pendidikan Islam haruslah bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh, secara seimbang, melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, parasaan dan indera. Karena itu, pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, dan bahasa secara individual maupun kolektif. Mendorong semua aspek ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan, tujuan akhirnya adalah dengan perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia. Ringkasnya tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia sempurna (insan kamil) serta mampu menjalankan tugas dan fungsinya, baik sebagai 'abd (hamba Allah) maupun sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam pandangan Hasan Langgulung, tujuan sebagai hamba Allah yang senantiasa bertaqarrub kepada-Nya dan sebagai khalifah di muka bumi merupakan tujuan tertinggi daripada pendidikan Islam itu sendiri. Tujuan yang pertama sesuai dengan firman Allah SWT:
وَمَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ (الذاريات: 56)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”

Sementara tujuan yang kedua adalah sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
وَإِذْ قَـالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِى اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً قَـالُـوْآ اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الـدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَـالَ إِنِّيْ اَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ (البقرة: 30)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Berdasarkan penjelasan di atas dipahami dengan jelas bahwa tujuan pengembangan fitrah manusia itu secara optimal adalah agar mereka mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Dengan demikian mereka akan memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat nantinya. Sebab jika potensi itu tidak mendapatkan upaya pengembangan niscaya manusia tidak dapat pula melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut yang menyebabkan mereka akan menderita dan sengsara dalam menjalani hidup dan kehidupannya karena tidak mendapat keridhaan dari Allah SWT. Selain itu perlu pula dicatat bahwa tidak ada kehidupan yang lebih bahagia selain kehidupan yang mendapat keridhaan dari Tuhan yang telah menciptakan dirinya.

F. PENUTUP
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, manusia dipandang sebagai makhluk yang menyimpan multipotensi (fitrah), baik yang bersifat jasadiah (fisik) maupun rohaniah (psikis). Keseluruhan potensi tersebut tidak dapat berkembang dengan sendirinya, oleh karena itu ia membutuhkan sarana yang efektif untuk mengembangkannya sehingga dapat memberikan manfaat terhadap dirinya dan juga lingkungan sekitarnya. Sarana tersebut adalah proses pendidikan yang juga mesti ditujukan untuk mengoptimalkan segenap potensi manusia tersebut dalam sebuah interaksi pembelajaran dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Ilahiah.
Upaya pengembangan fitrah merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan. Jika tidak, maka keunggulan dan kelebihan manusia yang diberikan oleh Allah SWT tidak akan berarti apa-apa dibandingkan dengan makhluk lainnya di bumi. Potensi yang tidak teroptimalkan akan menghalangi manusia untuk melakukan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Ironisnya lagi bahkan manusia itu dapat terjerumus ke dalam jurang yang hina serta lebih rendah dari hewan sekali pun. Na'udzubillahi min dzalik.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Terjemahan, Rochman Achwan, Jakarta, LP3ES, 1989

Arifin, H.M., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta, Bumi Aksara, 1991

------, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendidikan Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1993

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, 1995

Al-Isfahaniy, al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran, Beirut, Dar al-Fikr, 1972

Al-Ja’fi, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut, Dar Ibnu Katsir, 1987

Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1984

-------, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 2003

Madjid, Nurcholis, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan, 1991

Manzhur, Ibn, Lisan al-‘Arab Mesir, Dar al-Mishriyyah, 1992

Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta, Sipress, 1993

an-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuhu, Damaskus, Dar al-Fikr, 1988

Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001

Praja, Juhaja S., Epistimologi Ibn Taimiyah, Jurnal Ulumul Quran, Vol. II, 1990/1411 H, No. 7

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Quran al-Hakim, Tafsir al-Manar, Juz. VII, Beirut, Dar al-Fikr, t.th

Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung, Mizan, 1996

METODE PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

A.Pendahuluan
Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen penting yang saling berhubungan. Diantara komponen yang ada dalam sistem tersebut adalah metode pendidikan. Pengkajian terhadap metode pendidikan memang menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan menarik, sebab hal ini turut menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu metode pendidkan mesti dikembangkan secara dinamis sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.

Dalam konteks pendidikan Islam, metode pendidikan tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Maka pengembangan metode pendidikan yang diinginkan dalam sistem pendidikan Islam harus sesuai dengan karakteristik pendidikan islam itu sendiri. Pengembangan metode pendidikan itu harus dilakukan, khususnya para pelaksana pendidikan Islam. Jika metode pendidikan yang digunakan meminjam istilah Mastuhu masih bersifat klasik, statis dan cenderung membosankan peserta didik, maka akan berdampak terhadap kualitas kehidupan umat Islam itu sendiri yang akan terus terbelakang. Memang ada kecenderungan selama ini bahwa dinamika pendidikan Islam dalam tataran pelaksanaanya kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain. Hal itu tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah lemahnya pengembangan metode pendidikan itu sendiri.

Lalu bagaimanakah metode pendidikan yang sesuai dengan perspektif pendidikan islam ?... Untuk itu, makalah yang sederhana ini akan menganilisis secara filosofis tentang metode pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, dengan harapan kajian ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang konsep keduanya sehingga memberikan kontribusi yang jelas terhadap pengembangan keilmuan di bidang pendidikan Islam.

Pengertian Metode Pendidikan Islam
Dalam pengertian letterlijk istilah “metode” berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya “melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Jadi metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai fungsi 2 ganda, yaitu yang bersifat polipragmatis dan monopragmatis.
Polipragmatis yaitu metode atau alat yang mengandung kegunaan yang serba ganda ( multipurpose ). Misalkan, suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, pada situasi yang lain dapat dipergunakan untuk membangun atau memperbaiki. Kegunaannya dapat bergantung pada si pemakai metode tersebut.
Kemudian monopragmatis adalah metode atau alat yang hanya dapat digunakan dalam satu tujuan tertentu saja. Misalnya, laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat dipergunakan dalam eksperimen dalam bidang ilmu lainnya, seperti ilmu sosial atau kedokteran.
Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata al-tharīqah, manhaj, atau al-wasīlah. Al-Tharīqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, sedangkan al- wasīlah berarti perantara atau mediator. Jadi kata Arab yang lebih dekat dengan metode adalah al-tharīqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Kata-kata al-tharīqah juga banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Menurut Muhammad Fuad Abd Baqy, sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa di dalam al-Qur’an kata al-tharīqah diulang sebanyak 9 kali. Kata ini terkadang dihubungkan dengan objek yang dituju, seperti neraka sehingga menjadi jalan menuju neraka (Q.S. an-Nisa/4: 169) ; terkadang dihubungkan dengan sifat dari jalan tersebut, seperti al-tharīqah al-mustaqimah, yang diartikan jalan lurus (Q.S. al-Ahqaf/46:30) ; terkadang dihubungkan dengan jalan yang ada di tempat tertentu, seperti al-tharīqah fi al-bahr yang berarti jalan (yang kering) di laut (Q.S. Thaha/20: 77) ; dan terkadang pula al-tharīqah berarti tata surya atau langit (Q.S. al-Mukminun/23: 17).
Dari pendekatan kebahasan tersebut tampak bahwa metode lebih menunjukkan kepada jalan dalam arti jalan yang bersifat non fisik, yakni jalan dalam bentuk ide-ide yang mengacu kepada cara yang mengantarkan seseorang untuk sampai pada tujuan yang diinginkan. Namun secara terminologis, kata metode bisa membawa kepada pengertian yang beragam sesuai dengan konteks. Dalam konteks pendidikan Islam, metode dapat dipahami sebagai cara atau jalan yang ditempuh oleh pendidik dalam mendidik peserta didiknya dengan seperangkat pengalaman belajar sehingga tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Defenisi ini secara substansi tidak jauh berbeda dengan berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam. Al-Syaibany, misalnya berpendapat bahwa metode pendidikan adalah:
Segala segi kegiatan yang tearah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkan, ciri-ciri mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Selanjutnya menolong mereka memperoleh maklumat, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang diinginkan.
Macam-macam Metode Pendidikan Islam.
Terdapat beberapa macam metode yang digunakan dalam pendidikan Islam. Al-Syaibany mengemukakan ada dua belas metode yang dapat digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu: metode pengambilan kesimpulan atau induktif, metode perbandingan (qiyasiah), metode kuliah, metode dialog dan perbincangan, metode lingkaran (halaqah), metode riwayat, metode mendengar, metode membaca, metode imla’ (dictation), metode hafalan, metode pemahaman, dan metode lawatan untuk menuntut ilmu (pariwisata).
Dari beberapa metode di atas, dalam makalah yang terbatas ini akan diuraikan beberapa metode yang diisyaratkan dalam al-Qur’an
a. Metode Teladan
Metode keteladanan merupakan metode yang paling berpengaruh dalam mendidik peserta didik, khususnya dalam hal pembentukan kepribadian. Pentingnya metode ini juga dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW itu menjadi teladan bagi para umatnya. Keteladanan itu terlihat dari setiap perilaku yang ditampilkan oleh Rasulullah, sehingga Allah pun memujinya dalam al-Qur’an: dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung (Q.s. Qalam/68:4).
Selain kepada Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an juga menjelaskan bahwa keteladanan itu ada pada diri Nabi Ibrahim AS. Keteladanan Nabi Ibrahim AS yang mendapat julukan khalilullah ini juga dapat dilihat dari kepribadiannya yang mulia dalam mendidik kaumnya agar menegakkan agama tauhid. Bahkan metode keteladanan ini menjadi salah satu kunci keberhasilan Nabi Ibrahim dalam mendidik anaknya Isma’il sehingga menjadi anak yang shaleh.
Kedua nabi yang disebut al-Qur’an sebagai uswatun hasanah ini patut diteladani oleh umat Islam, khususnya pendidik Islam sebagai pewaris nabi. Dengan keteladanan tersebut diharapkan peserta didik memiliki kepribadian yang islami dan pada gilirannya akan menjadi teladan bagi sekelilingnya.
b. Metode ceramah
Metode ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam proses pendidikan. Meskipun metode lain dipakai, tetapi metode itu selalu dikombinasikan dengan metode ceramah ini. Al-Qur’an juga mengisyaratkan adanya metode ceramah. Menurut Abuddin Nata, metode ini disebut al-Qur’an dengan kata khutbah yang diulang sebanyak 9 kali dan kata tabligh yang diulang sebanyak 78 kali. Metode ini juga dilakukan oleh nabi dalam mengajak dan mendidik kaumnya ke jalan yang benar.
Metode ini juga bisa efektif diterapkan jika penyampaiannya menggunakan bahasa yang jelas, mudah dipahami dan mengandung pesan-pesan yang bermutu sehingga memperkaya wawasan peserta didik secara kognitif. Metode ceramah juga bisa menyentuh qalbu peserta didik sehingga ceramah tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga ranah apektif.
c. Metode Nasehat
Metode nasehat merupakan penyampaian kata-kata yang menyentuh hati dan disertai dengan keteladanan. Dengan demikian metode ini memadukan antara metode ceramah dengan keteladanan, namun lebih diarahkan kepada bahasa hati, tetapi bisa pula disampaikan dengan pendekatan rasional. Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan tentang metode nasehat yang dilakukan oleh para nabi kepada kaumnya, seperi Nabi Shaleh As yang menasehati kaumnya agar menyembah Allah, dan Nabi Ibrahim AS yang menasehati ayahnya, agar menyembah Allah dan tidak lagi membuat patung . Begitu pula al-Qur’an mengisahkan Luqman memberi nasehat kepada anaknya agar menyembah Allah dan berbakti kepada orang tua serta melakukan sifat-sifat yang terpuji seperti yang terdapat dalam Q.S. Luqman/31: 12-13.
Selain dari kisah nabi dan Luqman di atas, al-Qur’an sendiri mengandung ayat-ayat yang mengandung nasehat, seperti nasehat agar tidak mempersekutukan Allah dan berbuat baiklah kepada manusia. Dalam al-Qur’an juga terdapat nasehat yang berulang-ulang. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang dinasehati itu penting sesuai dengan konteksnya.
Abuddin Nata menegaskan bahwa al-Qur’an secara eksplisit menggunakan nasehat sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur’an berbicara tentang penasehat, yang dinasehati, obyek nasehat, situasi nasehat, dan latar belakang nasehat. Karenanya sebagai suatu metode pengajaran nasehat dapat diakui kebenarannya untuk diterapkan sebagai upaya mencapai suatu tujuan.
d. Metode Diskusi
Metode diskusi juga mendapat perhatian dalam al-Qur’an. Seperti dalam surat al-Nahl/16 ayat 125 dijelaskan agar kita mengajak ke jalan yang benar dnegan hikmah dan mau’izhah yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan cara yang paling baik pula. Kemudian dalam surat al-Ankabut ayat 46 juga dijelaskan agar kita tidak berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik.
Dengan demikian, dalam proses pembelajaran metode diskusi juga dapat digunakan. Namun penerapan metode ini harus dilakukan dengan baik, seperti tidak menyinggung perasaan orang lain, menghargai pendapat dan pembicaraannya, tidak memonopoli forum dan tidak pula egois serta dibutuhkan kedewasaan berpikir.
e. Metode targhib dan tarhib
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, berdasarkan analisis terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat didefenisikan bahwa targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Namun penundaan itu bersifat pasti, baik, murni dan dilakukan melalui amal shaleh atau pencegahan diri dari kelezatan yang membahayakan. Sementara tarhib adalah ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau perbuatan yang telah dilarang Allah. Kedua metode ini bisa dilihat dalam surat Zalzalah ayat 7-8. .
Dalam ilmu modern, targhib dikenal dengan istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Sementara tarhib dikenal dengan istilah punishment hukuman atau sanksi sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi metode pendidikan yang baik. Keduanya dapat diterapkan dalam pendidikan dan menyesuaikannya dengan kondisi yang dihadapi. Namun jika dibandingkan antara keduanya, seharusnya metode targhib lebih diprioritaskan dari pada tarhib. Misalnya, jika ada peserta didik yang mengerjakan tugas dan yang lainnya tidak membuat tugas, maka yang terlebih dahulu diberikan respon adalah kepada peserta didik yang telah membuat tugas.
Meskipun demikian, metode tarhib memang tetap dibutuhkan, tetapi harus terlebih dahulu dilalui dengan metode keteladanan, atau nasehat yang baik. Dalam hal ini Muhammad Qutb menegaskan bahwa bila metode teladan dan nasehat juga tidak mampu, maka harus diadakan tindakan berupa tarhib. Tetapi yang harus ditekankan bahwa sanksi atau hukuman yang diberikan harus bersifat edukatif.
f. Metode Pembiasaan
Cara lain yang digunakan oleh al-Qur’an dalam memberikan materi pendidikan adalah melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini termasuk merubah kebiasaan-kebiasaan negativ. Kebiasaan ditempatkan oleh manusia sebagai suatu yang istimewa.
Al-Qur’an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Selain itu, al-Qur’an juga menciptakan agar tidak terjadi kerutinan yang kaku dalam bertindak, dengan cara terus menerus mengingatkan tujuan yang ingin dicapai dengan kebioasaan itu, dan dengan menjalin hubungan yang hidup antara manusia dengan Allah dalam suatu hubungan yang dapat mengalirkan berkas cahaya kedalam hati sehingga tidak gelap gulita.
Masih banyak macam-macam metode yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan. Semua metode tersebut dapat digunakan dalam pendidikan Islam tetapi tetap menyesuaikan dengan karakteristik dan asas-asas di atas. Namun tidak ada satu pun metode yang mutlak ideal di antara metode-metode lain. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pendidik juga bisa menggunakan metode secara bervariasi dengan tetap mempertimbangkan kelebihan dan kelemahannya serta relevansinya dengan kebutuhan.
Metode tersebut akan tepat dan benar digunakan jika disesuaikan dengan kebutuhan, baik yang berhubungan dengan materi, tujuan pendidikan, suasana lingkungan belajar, hingga kepada kondisi psikologis peserta didik. Oleh karena itu, dituntut kompetensi pendidik dalam memilih dan menentukan metode yang tepat sehingga pencapaian tujuan pendidikan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Refrensi :
M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara 2000), hal. 97
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997 ), hal. 92-93
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam I, ( Padang : Baitul Hikmah Press 2002), hal, 383-391