Jumat, 02 Desember 2011

Maota Gadang Plus

Oleh : Charles Mangunsong

Jika membuka kembali  harian padang ekspres halaman Cucu Magek Diri yang terbit minggu, 09/10 lalu, pasti setiap kita ( presiden/mentri, gubernur, bupati/walikota, Pejabat publik, politisi, pengurus partai politik dan tokoh/pengurus organisasi kemasyarakatan ) yang membacanya akan merasa ada sesuatu yang kurang pada diri sendiri, konon lagi seorang yang  bergelar  sarjana, master dan doktor yang tak mampu menulis/menyampaikan hasil pemkirannya. Tulisan itu tentunya bukan bermaksud untuk menyudutkan individu atau sekelompok orang. Barangkali lebih layak hal itu disebut  Lacuik untuk kita agar mampu menuliskan/menyampaikan pemikiran kita, hingga diharapkan tidak hanya maota gadang saja, melainkan juga menuliskan hasil dari obrolan tersebut.
           
            Jika ingin membuka lebih jauh lagi dalam pendidikan khususnya SLTP/SLTA mata pelajaran bahasa Indonesia, di situ akan ditemukan beberapa standar kompetensi diantaranya adalah menulis, dengan indikator mampu menulis. Itu artinya peserta didik harus mampu menulis, baik puisi, cerpen, iklan baris, laporan peristiwa, dll.
           
            Sangat tepat sekali ketika Solichin M. Awi pernah menuliskan dalam bukunya “ tentang menulis, mengapa menulis, dan menulislah”, bahwa menulis itu tidak hanya aktivitas  fisik saja, akan tetapi menulis juga sebagai bentuk ekpresi diri dalam kendali hati dan otak, yang menuntut latihan yang continue serta terpola secara sistematis.
           
            Terkadang ada seseorang ketika ditanya mengapa tidak pernah menulis?, dengan mudahnya menjawab tidak mampu. Padahal setiap individu yang lahir ke bumi dibekali dengan kemampuan menulis, a gifted writer. Kemampuan itulah yang harus diasah hingga akhirnya menulis itu tidak menjadi beban yang berat bagi setiap individu, baik dengan alasan menumpuknya pekerjaan yang menjadi rutinitas kerja sebagai pejabat atau dengan alasan tidak mampu. Bagi seseorang yang suka menulis, menulis itu sangat penting. Sedikitnya dapat memenuhi tiga hal dalam hidupnya. Pertama, sebagai ajang diskusi dan menyampaikan gagasan-gagasan yang baik. Kedua, memberi sumbangsi atau kontribusi pemikiran dalam rangka menyelesaikan suatu masalah. dan ketiga, sebagai sarana proses pengaktualisasian dan eksistensi diri. Dengan menulis, seseorang akan dikenal oleh orang banyak, bahkan tak jarang yang melakukan penilaian, apakah ia orang penting atau tidak, hingga berujung kepada kelayakan untuk dikenang jasanya atau tidak perlu diingat sama sekali.

            Bukan rahasia umum lagi, bahwa kebiasaan maota gadang banyak diminati oleh berbagai kalangan, mulai dari siswa disekolah, mahasiswa di kampus, guru/dosen, karyawan swasta di kantor, kaum bapak di lapau kopi, kaum ibu,  pengusaha, sampai kepada aparatur pemerintah. Semuanya itu tak pernah direncanakan sebelumnya, namun berjalan dengan lancar tanpa hambatan apapun hingga selesai tanpa konflik. Tak jarang yang menjadi pokok pembicaraan menyangkut pemerintahan daerah. Andai saja pembicaraan itu bisa disulap menjadi tulisan, pastinya sudah menjadi buku yang berjilid-jilid banyaknya yang mampu memberikan kontribusi pada pembangunan daerah, umumnya sumatera barat. 

Budaya inilah yang harus kita rubah, dari kebiasaan maota gadang di tambah menulis. Semua itu dapat dirubah  akan tetapi tidak semudah membalikkan telapak tangan atau dengan sim salabin lantas jadi. Semua butuh proses, dan yang lebih penting lagi adalah merubah pola pikir yang selama ini menganggap menulis itu sulit, dan butuh waktu yang banyak.  

Aktivis-aktivis dan para penggerak organisasi mahasiswa kampus-kampus di Kota Padang khususnya, banyak hal yang dialaminya. Dari hal yang terbesar menurutnya sampai yang terkecil dengan berbagai bentuk macam dan ragamnya masalah yang Ia temui. Akan tetapi tak satupun yang berusaha melarikan diri dari masalah itu, karena banyak solusi-solusi yang jitu yang dilemparkannya hingga selesai dan suskes sebagai nakhoda masa. Jika saja Ia mau menyisakan sedikit waktu untuk menuliskan ide-ide raksasanya dan dihadapkan kepada masyarakat media cetak, tentu hal itu akan menjadi sangat bermanfaat bagi orang banyak.

            Seseorang yang buta aksara ( illiterate ), ketika Ia berusaha mengekpresikan rasa dan gejolak dalam dirinya dalam bentuk tulisan, maka hal yang bisa ia lakukan adalah membuat coretan-coretan saja.  Mungkin bagi kita tak ada arti apapun, tapi baginya coret-coretan itu adalah hasil karyanya yang luar biasa baginya layaknya seorang penulis buku yang bangga dengan ratusan bahkan ribuan buku hasil karyanya.  

Dari hal tersebut kita dapat mengambil pelajaran yang bermakna, bahwa seorang dhu’afa masih ingin menuliskan bentuk-bentuk pemikiran yang dialaminya. Kemudian bagaimana dengan kita, masihkah kita tetap mengatakan tidak mampu menuliskan pemikiran/menyampaikan gagasan kita?. Mulailah dengan menuliskan semua isi obrolan yang dilakukan dan merangkainya secara sistematis sampai menjadi tulisan hingga benar-benar menjadi jembatan interaksi yang komunikatif dengan pembacanya. Sehingga informasi terus berkembang serta memperkaya pengetahuan pembaca dengan harapan mencerdaskan masyarakat sumbar umumnya.(cm)