Oleh : Charles Mangunsong
Jika
membuka kembali harian padang ekspres halaman
Cucu Magek Diri yang terbit minggu, 09/10 lalu, pasti setiap kita (
presiden/mentri, gubernur, bupati/walikota, Pejabat publik, politisi, pengurus
partai politik dan tokoh/pengurus organisasi kemasyarakatan ) yang membacanya
akan merasa ada sesuatu yang kurang pada diri sendiri, konon lagi seorang yang bergelar sarjana, master dan doktor yang tak mampu menulis/menyampaikan hasil pemkirannya. Tulisan itu tentunya bukan bermaksud
untuk menyudutkan individu atau sekelompok orang. Barangkali lebih layak hal
itu disebut Lacuik untuk kita agar mampu menuliskan/menyampaikan pemikiran
kita, hingga diharapkan tidak hanya maota
gadang saja, melainkan juga menuliskan hasil dari obrolan tersebut.
Jika ingin membuka lebih jauh lagi
dalam pendidikan khususnya SLTP/SLTA mata pelajaran bahasa Indonesia, di situ
akan ditemukan beberapa standar kompetensi diantaranya adalah menulis, dengan
indikator mampu menulis. Itu artinya peserta didik harus mampu menulis, baik
puisi, cerpen, iklan baris, laporan peristiwa, dll.
Sangat tepat sekali ketika Solichin
M. Awi pernah menuliskan dalam bukunya “
tentang menulis, mengapa menulis, dan menulislah”, bahwa menulis itu tidak
hanya aktivitas fisik saja, akan tetapi
menulis juga sebagai bentuk ekpresi diri dalam kendali hati dan otak, yang
menuntut latihan yang continue serta
terpola secara sistematis.
Terkadang ada seseorang ketika ditanya
mengapa tidak pernah menulis?, dengan mudahnya menjawab tidak mampu. Padahal
setiap individu yang lahir ke bumi dibekali dengan kemampuan menulis, a gifted writer. Kemampuan itulah yang
harus diasah hingga akhirnya menulis itu tidak menjadi beban yang berat bagi
setiap individu, baik dengan alasan menumpuknya pekerjaan yang menjadi
rutinitas kerja sebagai pejabat atau dengan alasan tidak mampu. Bagi seseorang
yang suka menulis, menulis itu sangat penting. Sedikitnya dapat memenuhi tiga
hal dalam hidupnya. Pertama, sebagai
ajang diskusi dan menyampaikan gagasan-gagasan yang baik. Kedua, memberi sumbangsi atau kontribusi pemikiran dalam rangka
menyelesaikan suatu masalah. dan ketiga, sebagai
sarana proses pengaktualisasian dan eksistensi diri. Dengan menulis, seseorang
akan dikenal oleh orang banyak, bahkan tak jarang yang melakukan penilaian, apakah
ia orang penting atau tidak, hingga berujung kepada kelayakan untuk dikenang
jasanya atau tidak perlu diingat sama sekali.
Bukan rahasia umum lagi, bahwa kebiasaan
maota gadang banyak diminati oleh
berbagai kalangan, mulai dari siswa disekolah, mahasiswa di kampus, guru/dosen,
karyawan swasta di kantor, kaum bapak di lapau
kopi, kaum ibu, pengusaha, sampai
kepada aparatur pemerintah. Semuanya itu tak pernah direncanakan sebelumnya, namun
berjalan dengan lancar tanpa hambatan apapun hingga selesai tanpa konflik. Tak
jarang yang menjadi pokok pembicaraan menyangkut pemerintahan daerah. Andai saja
pembicaraan itu bisa disulap menjadi
tulisan, pastinya sudah menjadi buku yang berjilid-jilid banyaknya yang mampu
memberikan kontribusi pada pembangunan daerah, umumnya sumatera barat.
Budaya
inilah yang harus kita rubah, dari kebiasaan maota gadang di tambah menulis. Semua itu dapat dirubah akan tetapi tidak semudah membalikkan telapak
tangan atau dengan sim salabin lantas
jadi. Semua butuh proses, dan yang lebih penting lagi adalah merubah pola pikir
yang selama ini menganggap menulis itu sulit, dan butuh waktu yang banyak.
Aktivis-aktivis
dan para penggerak organisasi mahasiswa kampus-kampus di Kota Padang khususnya,
banyak hal yang dialaminya. Dari hal yang terbesar menurutnya sampai yang
terkecil dengan berbagai bentuk macam dan ragamnya masalah yang Ia temui. Akan
tetapi tak satupun yang berusaha melarikan diri dari masalah itu, karena banyak
solusi-solusi yang jitu yang dilemparkannya hingga selesai dan suskes sebagai
nakhoda masa. Jika saja Ia mau menyisakan sedikit waktu untuk menuliskan
ide-ide raksasanya dan dihadapkan kepada masyarakat media cetak, tentu hal itu
akan menjadi sangat bermanfaat bagi orang banyak.
Seseorang yang buta aksara ( illiterate ), ketika Ia berusaha mengekpresikan
rasa dan gejolak dalam dirinya dalam bentuk tulisan, maka hal yang bisa ia
lakukan adalah membuat coretan-coretan saja.
Mungkin bagi kita tak ada arti apapun, tapi baginya coret-coretan itu
adalah hasil karyanya yang luar biasa baginya layaknya seorang penulis buku
yang bangga dengan ratusan bahkan ribuan buku hasil karyanya.
Dari
hal tersebut kita dapat mengambil pelajaran yang bermakna, bahwa seorang dhu’afa masih ingin menuliskan
bentuk-bentuk pemikiran yang dialaminya. Kemudian bagaimana dengan kita,
masihkah kita tetap mengatakan tidak mampu menuliskan pemikiran/menyampaikan
gagasan kita?. Mulailah dengan menuliskan semua isi obrolan yang dilakukan dan
merangkainya secara sistematis sampai menjadi tulisan hingga benar-benar menjadi
jembatan interaksi yang komunikatif dengan pembacanya. Sehingga informasi terus
berkembang serta memperkaya pengetahuan pembaca dengan harapan mencerdaskan
masyarakat sumbar umumnya.(cm)