A. PENDAHULUAN
Salah satu mata kuliah yang diajarkan pada program studi pendidikan agama islam adalah Aliran Modern Dalam Islam ( AMDI ) yang membahas secara inti tentang tokoh-tokoh pembahruan dalam Islam dalam lingkup kehidupan. Mata pelajaran ini akan mengenalkan kepada mahasiswa gerakan modern dalai Islam yang dipelopori oleh tokoh, gerakan dan organisasi ummat Islam di beberapa negara pada beberapa kawasan. Dengan pelajaran ini, setiap mahasiswa secara umum dituntut untuk mengetahui perekembangan modern di dunia Islam dalam upaya menguasai dan memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan keilmuan untuk menjawab tantangan dan tuntutan jaman. Secara khusus atau intruksional dengan melakukan studi terhadap isu-isu modern dan kontemporer serta persoalan-persoalan aktual yang berkaitan dengan Islam dan modernisasi, mahasiswa diharapkan memahami dasar-dasar pemikiran gerkan pembaharuan dalam Islam yang dipelopori oleh tokoh dan organisasi Islam modern. Kemudian memahami tema-tema pokok dan metodologi yang ditawarkan oleh tokoh atau organisasi pembaharu di dunia Islam modern.
Selanjutnya setiap mahasiswa diharapkan dapat memberikan analisis terhadap isu-isu strategis yang berkaitan dengan gerakan pembaharuan pemikiran keagamaan di dunia Islam umumnya dan di Indonesia pada khususnya serta memberikan solusi pemikiran alternatif terhadap gerakan pembaharuan Islam modern dalam kontk keindonesiaan.
Secara etimologi, modernisasi berasal dari kata modern, yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaharuan. Pendek kata, modernisasi juga bisa disebut pembaharuan. Dalam masyarakat Barat “modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Lahirnya modernisasi atau pembaharuan disebuah tempat akan selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu. Artinya tidak mungkin akan ada pembaharuan tanpa ada dukungan perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi atau pembaharuan bisa diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima, atau dilaksanakan oleh penerima pembaharuan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain. Pembaharuan biasanya dipergunakan sebagai proses perubahan untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dan lebih maju, untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain, pembaharuan sesungguhnya lebih merupakan upaya atau usaha perbaikan keadaan, baik dari segi cara, konsep, dan serangkaian metode yang bisa diterapkan dalam rangka menghantarkan keadaan yang lebih baik.
Bagi Nurkholish Madjid, atau yang biasa disebut Caknur, menyatakan bahwa modernisasi sebagai rasionalisasi, yaitu proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Kontruksi berfikir seseorang yang sering menjadi acuan dalam adanya perombakan gagasan, seringkali menjadi faktor penentu juga dalam rangka melahirkan proses pembahruan secara simultan. Adanya proses pembaharuan tentu saja akan meniscayakan aktifitas yang selalu dibarengi dengan cara berfikir rasional, progresif, dan dinamis.
Merujuk dari beberapa pengertian di atas, kelihatannya ada beberapa komponen yang menjadi ciri suatu aktifitas dikatakan sebagai aktifitas pembaharuan, antara lain: Pertama, baik pembaharuan maupun modernisasi akan selalu mengarah kepada upaya perbaikan secara simultan, kedua, dalam upaya melakukan suatu pembaharuan di sana akan meniscayakan pengaruh yang kuat adanya ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga, upaya pembaharuan biasanya juga dilakukan secara dinamis, inovatif dan progresif sejalan dengan perubahan cara berfikir seseorang .
Dari itu, untuk lebih mengetahui bagaimana bentuk-bentuk pembaharuan dalam hal apapun, disini penulis akan menyajikan sebuah topik seorang tokoh pembaharu dalam islam, khususnya dalam pemurnian ajaran Islam, yaitu Muhammad Bin Abdul Wahab
B. MUHAMMAD BIN 'ABD AL-WAHAB dan GERAKAN AL MUWAHIDUN DALAM PEMURNIAAN AJARAN ISLAM
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhāb, beliau memiliki nama lengkap Muhammad bin ‘Abd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.[1]
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Karena melihat keadaan umat Islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.[2]
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan. Amir menjawab "Silahkan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini." Tetapi beliau kawatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu. Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka. Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di dekatnya. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.[3]
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat. Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah maupun di luar Uyainah. Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain. Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dir'iyyah, yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah wilayah Dir’iyyah), Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Bin Suwailim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana Dir'iyyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dir’iyyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Suwailim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan di Dir'iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya. Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: "Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari." Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh untuk dibawa ke tempat kediamannya. Baginda pun kemudian meminta pandangan dari beberapa penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Suwailim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.
Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu Saud memberi salam dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata: "Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berjanji untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda di negeri ini dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat Dir'iyyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah Rasul-Nya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!" Kemudian Syeikh menjawab: "Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dir'iyyah, yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara kandung sendiri, yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup-semati, dan senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya di bumi Dir'iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syekh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalan-Nya.
Nama Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke Dir'iyyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi modal utama bagi perjuangan beliau, yang meliputi disiplin ilmu Aqidah al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya (nahwu-shorof) dan lain-lain.
Dalam waktu yang singkat , Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mulai menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
Syeikh menempuh berbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul. Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
1. Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
- Atas nama politik yang berselubung agama.
Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah. Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.
Namun Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa mempedulikan celaan orang yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
- Golongan ulama khurafat, yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
- Golongan ulama taashub, yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
- Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya. Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama. Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab, yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar’iyah.
Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H. Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).
C. KESIMPULAN
1. Muhammad bin Abd al-Wahhāb, adalah seorang ulama berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni.
2. Ketika berada di kota Madinah, ia melihat banyak umat Islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, hal ini membuat Syeikh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah).
3. Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
4. Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
5. Dalam waktu yang singkat , Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini.
6. Muhammad bin Abdul Wahab menyampaikan dakwahnya sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
7. Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
· Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
· Atas nama politik yang berselubung agama.
8. Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad
Sumber : Ahmad Mahfuzd,Tokoh-Tokoh Pembaharu Dalam Islam, Kalam,1999,Bandung
wajar aja banyak dimusuhi di usir lawong cara menyampaikan dakwahnya kaku menganggap ajarannya adalah yang paling benar yang lain salah. tulisan ini ga ada bedanya dengan dongeng yang ingin membesarkan nama seseorang diitulis dengan berat dan agak dipaksa.
BalasHapusAfwan ya.....Ana menulis hal ini sama sekali gak bermaksud seperti apa yang antum katakan itu..ana hanya berbagi kepada semua ummat untuk mengetahui saja, dan bukan berarti harus mengikuti, sama halnya dengan kita membaca kitab injil, itu kan bukan berarti mengikuti kitab itu....afwan..syukron..jzkallahhun khairan...................
BalasHapusKESIMPULAN:
BalasHapus1) Innamal mukminuna ikhwah(tun).
Perbedaan dalam ISLAM akan menjadi rahmatan lil 'alamin ketika tiap2 golongan bisa bersikap saling menghargai antar golongan yang tidak sama dg golongannya. & perbeda'an dalam ISLAM akan menjadi Laknatullah ketika kita sibuk saling memvonis & mecari2 celah untuk menyalahkan, mengkafirkan, membid'ahkan golongan2 lain yg tak sepaham dengan golongannya!
Cobalah banyak belajar dari kisah2 akhlak Rosululloh saw yg sdh tak diragukan lgy kemuliaan akhlaknya. Tdk pernah sekalipun bertindak yg menyakitkan terutama terhadap saudara sesama Muslim. Kepada kaum yg kafir saja beliau masih dg cerminan sikap yg mulia.
& lebih baik tuisan anda ini dihapus saja. Karena bisa jadi menyesatkan bagi orang2 yg masih awam dalam sejarah Islam.
Tapi mau bagaimanapun kaum WAHABI mencoba melebarkan sayapnya utk berupaya mendoktrin umat di INDONESIA, Insya Allah tak kan terwujud. Karena dakwah WALI 9 di INDONESIA sudah mengakar kuat dlm masyarakat INDONESIA, dakwah yg sesuai dg Akhlak Rosulullah-lah yg bisa diterima dg terbuka/legowo oleh umat, serta outputnya adalah sikap umat yg senantiasa tawadhu' (rendah hati) & tdk suka memvonis golongan2 lain yg berbeda pemahamannya.
KESIMPULAN:
BalasHapus1) Innamal mukminuna ikhwah(tun).
Perbedaan dalam ISLAM akan menjadi rahmatan lil 'alamin ketika tiap2 golongan bisa bersikap saling menghargai antar golongan yang tidak sama dg golongannya. & perbeda'an dalam ISLAM akan menjadi Laknatullah ketika kita sibuk saling memvonis & mecari2 celah untuk menyalahkan, mengkafirkan, membid'ahkan golongan2 lain yg tak sepaham dengan golongannya!
Cobalah banyak belajar dari kisah2 akhlak Rosululloh saw yg sdh tak diragukan lgy kemuliaan akhlaknya. Tdk pernah sekalipun bertindak yg menyakitkan terutama terhadap saudara sesama Muslim. Kepada kaum yg kafir saja beliau masih dg cerminan sikap yg mulia.
& lebih baik tuisan anda ini dihapus saja. Karena bisa jadi menyesatkan bagi orang2 yg masih awam dalam sejarah Islam.
Tapi mau bagaimanapun kaum WAHABI mencoba melebarkan sayapnya utk berupaya mendoktrin umat di INDONESIA, Insya Allah tak kan terwujud. Karena dakwah WALI 9 di INDONESIA sudah mengakar kuat dlm masyarakat INDONESIA, dakwah yg sesuai dg Akhlak Rosulullah-lah yg bisa diterima dg terbuka/legowo oleh umat, serta outputnya adalah sikap umat yg senantiasa tawadhu' (rendah hati) & tdk suka memvonis golongan2 lain yg berbeda pemahamannya.
Persepsi yang berbeda.....!
BalasHapus