A.Pendahuluan
Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen penting yang saling berhubungan. Diantara komponen yang ada dalam sistem tersebut adalah metode pendidikan. Pengkajian terhadap metode pendidikan memang menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan menarik, sebab hal ini turut menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu metode pendidkan mesti dikembangkan secara dinamis sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Dalam konteks pendidikan Islam, metode pendidikan tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Maka pengembangan metode pendidikan yang diinginkan dalam sistem pendidikan Islam harus sesuai dengan karakteristik pendidikan islam itu sendiri. Pengembangan metode pendidikan itu harus dilakukan, khususnya para pelaksana pendidikan Islam. Jika metode pendidikan yang digunakan meminjam istilah Mastuhu masih bersifat klasik, statis dan cenderung membosankan peserta didik, maka akan berdampak terhadap kualitas kehidupan umat Islam itu sendiri yang akan terus terbelakang. Memang ada kecenderungan selama ini bahwa dinamika pendidikan Islam dalam tataran pelaksanaanya kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain. Hal itu tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah lemahnya pengembangan metode pendidikan itu sendiri.
Lalu bagaimanakah metode pendidikan yang sesuai dengan perspektif pendidikan islam ?... Untuk itu, makalah yang sederhana ini akan menganilisis secara filosofis tentang metode pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, dengan harapan kajian ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang konsep keduanya sehingga memberikan kontribusi yang jelas terhadap pengembangan keilmuan di bidang pendidikan Islam.
Pengertian Metode Pendidikan Islam
Dalam pengertian letterlijk istilah “metode” berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya “melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Jadi metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai fungsi 2 ganda, yaitu yang bersifat polipragmatis dan monopragmatis.
Polipragmatis yaitu metode atau alat yang mengandung kegunaan yang serba ganda ( multipurpose ). Misalkan, suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, pada situasi yang lain dapat dipergunakan untuk membangun atau memperbaiki. Kegunaannya dapat bergantung pada si pemakai metode tersebut.
Kemudian monopragmatis adalah metode atau alat yang hanya dapat digunakan dalam satu tujuan tertentu saja. Misalnya, laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat dipergunakan dalam eksperimen dalam bidang ilmu lainnya, seperti ilmu sosial atau kedokteran.
Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata al-tharīqah, manhaj, atau al-wasīlah. Al-Tharīqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, sedangkan al- wasīlah berarti perantara atau mediator. Jadi kata Arab yang lebih dekat dengan metode adalah al-tharīqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Kata-kata al-tharīqah juga banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Menurut Muhammad Fuad Abd Baqy, sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa di dalam al-Qur’an kata al-tharīqah diulang sebanyak 9 kali. Kata ini terkadang dihubungkan dengan objek yang dituju, seperti neraka sehingga menjadi jalan menuju neraka (Q.S. an-Nisa/4: 169) ; terkadang dihubungkan dengan sifat dari jalan tersebut, seperti al-tharīqah al-mustaqimah, yang diartikan jalan lurus (Q.S. al-Ahqaf/46:30) ; terkadang dihubungkan dengan jalan yang ada di tempat tertentu, seperti al-tharīqah fi al-bahr yang berarti jalan (yang kering) di laut (Q.S. Thaha/20: 77) ; dan terkadang pula al-tharīqah berarti tata surya atau langit (Q.S. al-Mukminun/23: 17).
Dari pendekatan kebahasan tersebut tampak bahwa metode lebih menunjukkan kepada jalan dalam arti jalan yang bersifat non fisik, yakni jalan dalam bentuk ide-ide yang mengacu kepada cara yang mengantarkan seseorang untuk sampai pada tujuan yang diinginkan. Namun secara terminologis, kata metode bisa membawa kepada pengertian yang beragam sesuai dengan konteks. Dalam konteks pendidikan Islam, metode dapat dipahami sebagai cara atau jalan yang ditempuh oleh pendidik dalam mendidik peserta didiknya dengan seperangkat pengalaman belajar sehingga tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Defenisi ini secara substansi tidak jauh berbeda dengan berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam. Al-Syaibany, misalnya berpendapat bahwa metode pendidikan adalah:
Segala segi kegiatan yang tearah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkan, ciri-ciri mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Selanjutnya menolong mereka memperoleh maklumat, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang diinginkan.
Macam-macam Metode Pendidikan Islam.
Terdapat beberapa macam metode yang digunakan dalam pendidikan Islam. Al-Syaibany mengemukakan ada dua belas metode yang dapat digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu: metode pengambilan kesimpulan atau induktif, metode perbandingan (qiyasiah), metode kuliah, metode dialog dan perbincangan, metode lingkaran (halaqah), metode riwayat, metode mendengar, metode membaca, metode imla’ (dictation), metode hafalan, metode pemahaman, dan metode lawatan untuk menuntut ilmu (pariwisata).
Dari beberapa metode di atas, dalam makalah yang terbatas ini akan diuraikan beberapa metode yang diisyaratkan dalam al-Qur’an
a. Metode Teladan
Metode keteladanan merupakan metode yang paling berpengaruh dalam mendidik peserta didik, khususnya dalam hal pembentukan kepribadian. Pentingnya metode ini juga dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW itu menjadi teladan bagi para umatnya. Keteladanan itu terlihat dari setiap perilaku yang ditampilkan oleh Rasulullah, sehingga Allah pun memujinya dalam al-Qur’an: dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung (Q.s. Qalam/68:4).
Selain kepada Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an juga menjelaskan bahwa keteladanan itu ada pada diri Nabi Ibrahim AS. Keteladanan Nabi Ibrahim AS yang mendapat julukan khalilullah ini juga dapat dilihat dari kepribadiannya yang mulia dalam mendidik kaumnya agar menegakkan agama tauhid. Bahkan metode keteladanan ini menjadi salah satu kunci keberhasilan Nabi Ibrahim dalam mendidik anaknya Isma’il sehingga menjadi anak yang shaleh.
Kedua nabi yang disebut al-Qur’an sebagai uswatun hasanah ini patut diteladani oleh umat Islam, khususnya pendidik Islam sebagai pewaris nabi. Dengan keteladanan tersebut diharapkan peserta didik memiliki kepribadian yang islami dan pada gilirannya akan menjadi teladan bagi sekelilingnya.
b. Metode ceramah
Metode ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam proses pendidikan. Meskipun metode lain dipakai, tetapi metode itu selalu dikombinasikan dengan metode ceramah ini. Al-Qur’an juga mengisyaratkan adanya metode ceramah. Menurut Abuddin Nata, metode ini disebut al-Qur’an dengan kata khutbah yang diulang sebanyak 9 kali dan kata tabligh yang diulang sebanyak 78 kali. Metode ini juga dilakukan oleh nabi dalam mengajak dan mendidik kaumnya ke jalan yang benar.
Metode ini juga bisa efektif diterapkan jika penyampaiannya menggunakan bahasa yang jelas, mudah dipahami dan mengandung pesan-pesan yang bermutu sehingga memperkaya wawasan peserta didik secara kognitif. Metode ceramah juga bisa menyentuh qalbu peserta didik sehingga ceramah tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga ranah apektif.
c. Metode Nasehat
Metode nasehat merupakan penyampaian kata-kata yang menyentuh hati dan disertai dengan keteladanan. Dengan demikian metode ini memadukan antara metode ceramah dengan keteladanan, namun lebih diarahkan kepada bahasa hati, tetapi bisa pula disampaikan dengan pendekatan rasional. Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan tentang metode nasehat yang dilakukan oleh para nabi kepada kaumnya, seperi Nabi Shaleh As yang menasehati kaumnya agar menyembah Allah, dan Nabi Ibrahim AS yang menasehati ayahnya, agar menyembah Allah dan tidak lagi membuat patung . Begitu pula al-Qur’an mengisahkan Luqman memberi nasehat kepada anaknya agar menyembah Allah dan berbakti kepada orang tua serta melakukan sifat-sifat yang terpuji seperti yang terdapat dalam Q.S. Luqman/31: 12-13.
Selain dari kisah nabi dan Luqman di atas, al-Qur’an sendiri mengandung ayat-ayat yang mengandung nasehat, seperti nasehat agar tidak mempersekutukan Allah dan berbuat baiklah kepada manusia. Dalam al-Qur’an juga terdapat nasehat yang berulang-ulang. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang dinasehati itu penting sesuai dengan konteksnya.
Abuddin Nata menegaskan bahwa al-Qur’an secara eksplisit menggunakan nasehat sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur’an berbicara tentang penasehat, yang dinasehati, obyek nasehat, situasi nasehat, dan latar belakang nasehat. Karenanya sebagai suatu metode pengajaran nasehat dapat diakui kebenarannya untuk diterapkan sebagai upaya mencapai suatu tujuan.
d. Metode Diskusi
Metode diskusi juga mendapat perhatian dalam al-Qur’an. Seperti dalam surat al-Nahl/16 ayat 125 dijelaskan agar kita mengajak ke jalan yang benar dnegan hikmah dan mau’izhah yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan cara yang paling baik pula. Kemudian dalam surat al-Ankabut ayat 46 juga dijelaskan agar kita tidak berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik.
Dengan demikian, dalam proses pembelajaran metode diskusi juga dapat digunakan. Namun penerapan metode ini harus dilakukan dengan baik, seperti tidak menyinggung perasaan orang lain, menghargai pendapat dan pembicaraannya, tidak memonopoli forum dan tidak pula egois serta dibutuhkan kedewasaan berpikir.
e. Metode targhib dan tarhib
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, berdasarkan analisis terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat didefenisikan bahwa targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Namun penundaan itu bersifat pasti, baik, murni dan dilakukan melalui amal shaleh atau pencegahan diri dari kelezatan yang membahayakan. Sementara tarhib adalah ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau perbuatan yang telah dilarang Allah. Kedua metode ini bisa dilihat dalam surat Zalzalah ayat 7-8. .
Dalam ilmu modern, targhib dikenal dengan istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Sementara tarhib dikenal dengan istilah punishment hukuman atau sanksi sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi metode pendidikan yang baik. Keduanya dapat diterapkan dalam pendidikan dan menyesuaikannya dengan kondisi yang dihadapi. Namun jika dibandingkan antara keduanya, seharusnya metode targhib lebih diprioritaskan dari pada tarhib. Misalnya, jika ada peserta didik yang mengerjakan tugas dan yang lainnya tidak membuat tugas, maka yang terlebih dahulu diberikan respon adalah kepada peserta didik yang telah membuat tugas.
Meskipun demikian, metode tarhib memang tetap dibutuhkan, tetapi harus terlebih dahulu dilalui dengan metode keteladanan, atau nasehat yang baik. Dalam hal ini Muhammad Qutb menegaskan bahwa bila metode teladan dan nasehat juga tidak mampu, maka harus diadakan tindakan berupa tarhib. Tetapi yang harus ditekankan bahwa sanksi atau hukuman yang diberikan harus bersifat edukatif.
f. Metode Pembiasaan
Cara lain yang digunakan oleh al-Qur’an dalam memberikan materi pendidikan adalah melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini termasuk merubah kebiasaan-kebiasaan negativ. Kebiasaan ditempatkan oleh manusia sebagai suatu yang istimewa.
Al-Qur’an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Selain itu, al-Qur’an juga menciptakan agar tidak terjadi kerutinan yang kaku dalam bertindak, dengan cara terus menerus mengingatkan tujuan yang ingin dicapai dengan kebioasaan itu, dan dengan menjalin hubungan yang hidup antara manusia dengan Allah dalam suatu hubungan yang dapat mengalirkan berkas cahaya kedalam hati sehingga tidak gelap gulita.
Masih banyak macam-macam metode yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan. Semua metode tersebut dapat digunakan dalam pendidikan Islam tetapi tetap menyesuaikan dengan karakteristik dan asas-asas di atas. Namun tidak ada satu pun metode yang mutlak ideal di antara metode-metode lain. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pendidik juga bisa menggunakan metode secara bervariasi dengan tetap mempertimbangkan kelebihan dan kelemahannya serta relevansinya dengan kebutuhan.
Metode tersebut akan tepat dan benar digunakan jika disesuaikan dengan kebutuhan, baik yang berhubungan dengan materi, tujuan pendidikan, suasana lingkungan belajar, hingga kepada kondisi psikologis peserta didik. Oleh karena itu, dituntut kompetensi pendidik dalam memilih dan menentukan metode yang tepat sehingga pencapaian tujuan pendidikan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Refrensi :
M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara 2000), hal. 97
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997 ), hal. 92-93
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam I, ( Padang : Baitul Hikmah Press 2002), hal, 383-391
Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen penting yang saling berhubungan. Diantara komponen yang ada dalam sistem tersebut adalah metode pendidikan. Pengkajian terhadap metode pendidikan memang menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan menarik, sebab hal ini turut menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan yang dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu metode pendidkan mesti dikembangkan secara dinamis sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Dalam konteks pendidikan Islam, metode pendidikan tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Maka pengembangan metode pendidikan yang diinginkan dalam sistem pendidikan Islam harus sesuai dengan karakteristik pendidikan islam itu sendiri. Pengembangan metode pendidikan itu harus dilakukan, khususnya para pelaksana pendidikan Islam. Jika metode pendidikan yang digunakan meminjam istilah Mastuhu masih bersifat klasik, statis dan cenderung membosankan peserta didik, maka akan berdampak terhadap kualitas kehidupan umat Islam itu sendiri yang akan terus terbelakang. Memang ada kecenderungan selama ini bahwa dinamika pendidikan Islam dalam tataran pelaksanaanya kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain. Hal itu tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah lemahnya pengembangan metode pendidikan itu sendiri.
Lalu bagaimanakah metode pendidikan yang sesuai dengan perspektif pendidikan islam ?... Untuk itu, makalah yang sederhana ini akan menganilisis secara filosofis tentang metode pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, dengan harapan kajian ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang konsep keduanya sehingga memberikan kontribusi yang jelas terhadap pengembangan keilmuan di bidang pendidikan Islam.
Pengertian Metode Pendidikan Islam
Dalam pengertian letterlijk istilah “metode” berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya “melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Jadi metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai fungsi 2 ganda, yaitu yang bersifat polipragmatis dan monopragmatis.
Polipragmatis yaitu metode atau alat yang mengandung kegunaan yang serba ganda ( multipurpose ). Misalkan, suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, pada situasi yang lain dapat dipergunakan untuk membangun atau memperbaiki. Kegunaannya dapat bergantung pada si pemakai metode tersebut.
Kemudian monopragmatis adalah metode atau alat yang hanya dapat digunakan dalam satu tujuan tertentu saja. Misalnya, laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat dipergunakan dalam eksperimen dalam bidang ilmu lainnya, seperti ilmu sosial atau kedokteran.
Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata al-tharīqah, manhaj, atau al-wasīlah. Al-Tharīqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, sedangkan al- wasīlah berarti perantara atau mediator. Jadi kata Arab yang lebih dekat dengan metode adalah al-tharīqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Kata-kata al-tharīqah juga banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Menurut Muhammad Fuad Abd Baqy, sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa di dalam al-Qur’an kata al-tharīqah diulang sebanyak 9 kali. Kata ini terkadang dihubungkan dengan objek yang dituju, seperti neraka sehingga menjadi jalan menuju neraka (Q.S. an-Nisa/4: 169) ; terkadang dihubungkan dengan sifat dari jalan tersebut, seperti al-tharīqah al-mustaqimah, yang diartikan jalan lurus (Q.S. al-Ahqaf/46:30) ; terkadang dihubungkan dengan jalan yang ada di tempat tertentu, seperti al-tharīqah fi al-bahr yang berarti jalan (yang kering) di laut (Q.S. Thaha/20: 77) ; dan terkadang pula al-tharīqah berarti tata surya atau langit (Q.S. al-Mukminun/23: 17).
Dari pendekatan kebahasan tersebut tampak bahwa metode lebih menunjukkan kepada jalan dalam arti jalan yang bersifat non fisik, yakni jalan dalam bentuk ide-ide yang mengacu kepada cara yang mengantarkan seseorang untuk sampai pada tujuan yang diinginkan. Namun secara terminologis, kata metode bisa membawa kepada pengertian yang beragam sesuai dengan konteks. Dalam konteks pendidikan Islam, metode dapat dipahami sebagai cara atau jalan yang ditempuh oleh pendidik dalam mendidik peserta didiknya dengan seperangkat pengalaman belajar sehingga tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Defenisi ini secara substansi tidak jauh berbeda dengan berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam. Al-Syaibany, misalnya berpendapat bahwa metode pendidikan adalah:
Segala segi kegiatan yang tearah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkan, ciri-ciri mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Selanjutnya menolong mereka memperoleh maklumat, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang diinginkan.
Macam-macam Metode Pendidikan Islam.
Terdapat beberapa macam metode yang digunakan dalam pendidikan Islam. Al-Syaibany mengemukakan ada dua belas metode yang dapat digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu: metode pengambilan kesimpulan atau induktif, metode perbandingan (qiyasiah), metode kuliah, metode dialog dan perbincangan, metode lingkaran (halaqah), metode riwayat, metode mendengar, metode membaca, metode imla’ (dictation), metode hafalan, metode pemahaman, dan metode lawatan untuk menuntut ilmu (pariwisata).
Dari beberapa metode di atas, dalam makalah yang terbatas ini akan diuraikan beberapa metode yang diisyaratkan dalam al-Qur’an
a. Metode Teladan
Metode keteladanan merupakan metode yang paling berpengaruh dalam mendidik peserta didik, khususnya dalam hal pembentukan kepribadian. Pentingnya metode ini juga dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW itu menjadi teladan bagi para umatnya. Keteladanan itu terlihat dari setiap perilaku yang ditampilkan oleh Rasulullah, sehingga Allah pun memujinya dalam al-Qur’an: dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung (Q.s. Qalam/68:4).
Selain kepada Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an juga menjelaskan bahwa keteladanan itu ada pada diri Nabi Ibrahim AS. Keteladanan Nabi Ibrahim AS yang mendapat julukan khalilullah ini juga dapat dilihat dari kepribadiannya yang mulia dalam mendidik kaumnya agar menegakkan agama tauhid. Bahkan metode keteladanan ini menjadi salah satu kunci keberhasilan Nabi Ibrahim dalam mendidik anaknya Isma’il sehingga menjadi anak yang shaleh.
Kedua nabi yang disebut al-Qur’an sebagai uswatun hasanah ini patut diteladani oleh umat Islam, khususnya pendidik Islam sebagai pewaris nabi. Dengan keteladanan tersebut diharapkan peserta didik memiliki kepribadian yang islami dan pada gilirannya akan menjadi teladan bagi sekelilingnya.
b. Metode ceramah
Metode ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam proses pendidikan. Meskipun metode lain dipakai, tetapi metode itu selalu dikombinasikan dengan metode ceramah ini. Al-Qur’an juga mengisyaratkan adanya metode ceramah. Menurut Abuddin Nata, metode ini disebut al-Qur’an dengan kata khutbah yang diulang sebanyak 9 kali dan kata tabligh yang diulang sebanyak 78 kali. Metode ini juga dilakukan oleh nabi dalam mengajak dan mendidik kaumnya ke jalan yang benar.
Metode ini juga bisa efektif diterapkan jika penyampaiannya menggunakan bahasa yang jelas, mudah dipahami dan mengandung pesan-pesan yang bermutu sehingga memperkaya wawasan peserta didik secara kognitif. Metode ceramah juga bisa menyentuh qalbu peserta didik sehingga ceramah tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga ranah apektif.
c. Metode Nasehat
Metode nasehat merupakan penyampaian kata-kata yang menyentuh hati dan disertai dengan keteladanan. Dengan demikian metode ini memadukan antara metode ceramah dengan keteladanan, namun lebih diarahkan kepada bahasa hati, tetapi bisa pula disampaikan dengan pendekatan rasional. Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan tentang metode nasehat yang dilakukan oleh para nabi kepada kaumnya, seperi Nabi Shaleh As yang menasehati kaumnya agar menyembah Allah, dan Nabi Ibrahim AS yang menasehati ayahnya, agar menyembah Allah dan tidak lagi membuat patung . Begitu pula al-Qur’an mengisahkan Luqman memberi nasehat kepada anaknya agar menyembah Allah dan berbakti kepada orang tua serta melakukan sifat-sifat yang terpuji seperti yang terdapat dalam Q.S. Luqman/31: 12-13.
Selain dari kisah nabi dan Luqman di atas, al-Qur’an sendiri mengandung ayat-ayat yang mengandung nasehat, seperti nasehat agar tidak mempersekutukan Allah dan berbuat baiklah kepada manusia. Dalam al-Qur’an juga terdapat nasehat yang berulang-ulang. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang dinasehati itu penting sesuai dengan konteksnya.
Abuddin Nata menegaskan bahwa al-Qur’an secara eksplisit menggunakan nasehat sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur’an berbicara tentang penasehat, yang dinasehati, obyek nasehat, situasi nasehat, dan latar belakang nasehat. Karenanya sebagai suatu metode pengajaran nasehat dapat diakui kebenarannya untuk diterapkan sebagai upaya mencapai suatu tujuan.
d. Metode Diskusi
Metode diskusi juga mendapat perhatian dalam al-Qur’an. Seperti dalam surat al-Nahl/16 ayat 125 dijelaskan agar kita mengajak ke jalan yang benar dnegan hikmah dan mau’izhah yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan cara yang paling baik pula. Kemudian dalam surat al-Ankabut ayat 46 juga dijelaskan agar kita tidak berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik.
Dengan demikian, dalam proses pembelajaran metode diskusi juga dapat digunakan. Namun penerapan metode ini harus dilakukan dengan baik, seperti tidak menyinggung perasaan orang lain, menghargai pendapat dan pembicaraannya, tidak memonopoli forum dan tidak pula egois serta dibutuhkan kedewasaan berpikir.
e. Metode targhib dan tarhib
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, berdasarkan analisis terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat didefenisikan bahwa targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Namun penundaan itu bersifat pasti, baik, murni dan dilakukan melalui amal shaleh atau pencegahan diri dari kelezatan yang membahayakan. Sementara tarhib adalah ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau perbuatan yang telah dilarang Allah. Kedua metode ini bisa dilihat dalam surat Zalzalah ayat 7-8. .
Dalam ilmu modern, targhib dikenal dengan istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Sementara tarhib dikenal dengan istilah punishment hukuman atau sanksi sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi metode pendidikan yang baik. Keduanya dapat diterapkan dalam pendidikan dan menyesuaikannya dengan kondisi yang dihadapi. Namun jika dibandingkan antara keduanya, seharusnya metode targhib lebih diprioritaskan dari pada tarhib. Misalnya, jika ada peserta didik yang mengerjakan tugas dan yang lainnya tidak membuat tugas, maka yang terlebih dahulu diberikan respon adalah kepada peserta didik yang telah membuat tugas.
Meskipun demikian, metode tarhib memang tetap dibutuhkan, tetapi harus terlebih dahulu dilalui dengan metode keteladanan, atau nasehat yang baik. Dalam hal ini Muhammad Qutb menegaskan bahwa bila metode teladan dan nasehat juga tidak mampu, maka harus diadakan tindakan berupa tarhib. Tetapi yang harus ditekankan bahwa sanksi atau hukuman yang diberikan harus bersifat edukatif.
f. Metode Pembiasaan
Cara lain yang digunakan oleh al-Qur’an dalam memberikan materi pendidikan adalah melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini termasuk merubah kebiasaan-kebiasaan negativ. Kebiasaan ditempatkan oleh manusia sebagai suatu yang istimewa.
Al-Qur’an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Selain itu, al-Qur’an juga menciptakan agar tidak terjadi kerutinan yang kaku dalam bertindak, dengan cara terus menerus mengingatkan tujuan yang ingin dicapai dengan kebioasaan itu, dan dengan menjalin hubungan yang hidup antara manusia dengan Allah dalam suatu hubungan yang dapat mengalirkan berkas cahaya kedalam hati sehingga tidak gelap gulita.
Masih banyak macam-macam metode yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan. Semua metode tersebut dapat digunakan dalam pendidikan Islam tetapi tetap menyesuaikan dengan karakteristik dan asas-asas di atas. Namun tidak ada satu pun metode yang mutlak ideal di antara metode-metode lain. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pendidik juga bisa menggunakan metode secara bervariasi dengan tetap mempertimbangkan kelebihan dan kelemahannya serta relevansinya dengan kebutuhan.
Metode tersebut akan tepat dan benar digunakan jika disesuaikan dengan kebutuhan, baik yang berhubungan dengan materi, tujuan pendidikan, suasana lingkungan belajar, hingga kepada kondisi psikologis peserta didik. Oleh karena itu, dituntut kompetensi pendidik dalam memilih dan menentukan metode yang tepat sehingga pencapaian tujuan pendidikan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Refrensi :
M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara 2000), hal. 97
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997 ), hal. 92-93
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam I, ( Padang : Baitul Hikmah Press 2002), hal, 383-391
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar